Wilayah Metropolitan Malang Raya menawarkan sejuta keindahan alam. Banyak tempat wisata alam maupun buatan yang populer sehingga menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Kawasan metropolitan kedua di Jawa Timur setelah Gerbangkertosusilo ini juga memiliki aset sosial budaya yang beragam.
Keberagaman budaya yang ditampilkan oleh masyarakat Malang
Raya dalam harmoni yang indah, justru semakin mempercantik dan memperkaya keindahan
alam yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Meskipun masyarakat Malang Raya
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Baik adat istiadat, agama,
kepercayaan namun budaya tersebut masih dipertahankan sejak nenek moyang hingga
sekarang. Wujud budaya itu, salah satunya adalah Kejawen.
Kejawen sebagai wujud budaya dalam masyarakat Jawa menurut
Kuncaraningrat (2009) terdiri dari ide, tindakan, dan artefak atau benda-benda
hasil karya manusia. Kejawen merupakan sebuah kepercayaan yang terutama dianut
di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau
Jawa. Secara hakikat, Kejawen merupakan filsafat yang keberadaanya ada sejak
orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama:
Tiyang Jawi) itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa, dalam bahasa Indonesia berarti "segala
sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)".
Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar
ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.
Sementara menurut Santoso (2015), Kejawen dalam pandangan
umum masyarakat tak lekang dari manifestasi seni, budaya, tradisi, ritual,
sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Hingga Kejawen juga memiliki arti sebagai
aliran spiritual atau sisi spiritual suku Jawa. Apa yang dilakukan oleh pelaku
spritual Kejawen agar memenuhi kadar spiritual Kejawen?
Santoso menyebut ada dua tindakan atau laku atau olah
spiritual utama yang harus dilakukan oleh pelestari Kejawen. Yakni pasa
(berpuasa) dan tapa (bertapa). Tapa mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan
kata semedi. Ritual-ritual juga tetap dilaksanakan, diamalkan dan dipelihara
secara turun termurun sekalipun di masyarakat Jawa kini telah menganut
agama-agama dan kepercayaan yang berbeda dengan nenek moyang mereka pada dahulu
kala. Seperti ritual-ritual dan kepercayaan terhadap roh serta wali keramat
maupun benda-benda magis, masih tetap mengakar dalam laku keseharian
mereka.
Demikian juga saat melakukan upacara atau ritual di berbagai
tempat di golongkan sebagai suatu tindakan religius dan merupakan bagian dari
suatu kebudayaan bagi para pelaku Kejawen. Sebagai sebuah tindakan religius,
kegiatan dan ritual tertentu pada prinsipnya merupakan upaya manusia dalam
mencari hubungan atau berkomunikasi dengan Tuhan, dewa-dewi, ataupun makhluk-makluk
yang menghuni alam gaib. Kegiatan manusia tersebut sudah tentu dilandasi dan
didorong oleh adanya emosi keagamaan (relegious emotion), sebuah getaran
spiritual yang dipercaya menggerakkan jiwa manusia
Komunikasi Transendental
Dilihat dari perspektif Ilmu Komunikasi, upaya menjalin
hubungan yang dilakukan pelaku Kejawen tersebut dengan menyampaikan pesan
berupa doa atau mantra dikenal sebagai komunikasi transendental. Mantra adalah
kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa
atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979). Sebagian orang
percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham atau wangsit dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan ataupun
teks menurut bahasa di mana mantra itu berada.
Sementara menurut Deddy Mulyana, meskipun komunikasi yang
disebut komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan, akan tetapi bentuk
komunikasi seperti inilah yang terpenting bagi manusia. Sebab keberhasilan
manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di
akhirat. Oleh karena itu, manusia berhasil atau tidak dalam berhubungan dengan
Tuhan atau bagaimana ia bisa menempati surga di akhirat, tergantung pada
strategi pendekatan yang dilakukannya.
Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Hayat Padje, bahwa komunikasi
transendental adalah komunikasi dengan sesuatu yang bersifat “gaib”, termasuk
komunikasi dengan Tuhan. Gaib di sini, sama halnya dengan pendapat Indrajati,
adalah hal-hal yang sifatnya supranatural, adikodrati, suatu realitas yang
melampaui kenyataan duniawi semata.
Wujud hal gaib yang dimaksudkan dalam agama modern yang
disebut “Tuhan “ atau “Allah” atau nama lain yang sejalan dengan pengertian
itu. Keterbukaan kepada hal gaib merupakan
keterbukaan kepada kebaikan, kepada hal yang positif dan terpuji. Kepercayaan
kepada hal gaib adalah kepercayaan manusia mengenai adanya suatu kuasa yang ada
dalam hidup dan kehidupannya, melebihi kekuatan dunia ini yang mempengaruhi
hidupnya.
Doa Multikultural
Salah seorang pelaku ajaran Kejawen di Malang Raya, Ki Wandi,
menyatakan doa atau mantra yang diungkapkan dengan menggunakan Kejawen, mulai
dari tata cara dan bahasa yang digunakan yakni bahasa sastra Kawi yang kuna
makuna (kuno). Ki Wandi mengatakan hal tersebut usai memimpin doa saat
pembukaan kegiatan Budaya dan Arak Tumpeng Ageng Arjuno pada Artjuno Fest di UB
Forest Kawasan Lereng Gunung Arjuno, Bonowarih, Karangploso, Kabupaten Malang
dalam rangka Dies Natalis ke-54 Universitas Brawijaya Sabtu, 6 Januari 2017
lalu.
Menurut Ki Wandi, doa yang dipanjatkannya merupakan doa yang
dapat mengatasi perbedaan agama maupun kepercayaan yang dianut masyarakat saat
ini. Sebab, subtansi doa tidak hanya dipandang sempit tetapi juga mencerminkan
kebhinekaan Indonesia yang bersifat sosio-spiritual.
Sosio-spiritual digambarkan dengan adanya kesadaran akan Sang
Pencipta tumbuh sumbur di kalangan pemeluknya karena ladang-ladang agama
dipupuk dan dipelihara oleh negara. Sehingga frase “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dalam sila pertama Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kearifan dalam
merengkuh dan merangkul keanekaragaman agama-agama dan kepercayaan (Baidhawy,
2016).
Pemimpin Padepokan Gunung Ukir (PGU) di lereng Gunung Wukir itu
menyatakan saat prosesi doa, yang hadir di tempat tersebut tidak menutup
kemungkinan merupakan pemeluk tujuh agama dan kepercayaan. Yaitu Islam,
Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan kepercayaan. Sehingga doa
yang digunakan cukup satu yakni mantra atau doa dengan menggunakan bahasa
sastra Kawi yang kuna makuna. Bahasa yang digunakan saat zaman masih berdirinya
Kerajaan Kanjuruhan. Inti doa yang dilantunkan selain sebagai permintaan
keselamatan juga sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan doa tersebut diharapkan masing-masing penganut agama
yang hadir tidak “tersinggung”. Apalagi doa kuna makuna sudah ada sebelum agama-agama “modern”
hadir di Nusantara. Ki Wandi mengingatkan bahwa kita hidup di dunia jangan
sampai dicampuradukan pada agama, sebab agama itu lakum dinukum wa liyadin
(untukmu agamamu, untukku agamaku). Akan tetapi sebagai manusia diwajibkan
menghormati adat istiadat dimana kita berada, dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung.
Pesan lain yang ingin disampaikan oleh Ki Wandi bahwa
manungsa aja lali nang kawitane (manusia jangan lupa dengan dahulunya). Sebab
dalam berdoa, para pendahulu melaksanakannya dengan tata cara seperti itu. Hingga
sampai sekarang pun dikenang, dicari, digali kembali dan diharapkan dapat
dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Indonesia. Bahkan melalui seni dan
budaya, Ki Wandi meyakini unsurnya dapat menggaet dan menyatukan seluruh elemen
masyarakat dalam sebuah bingkai kerukunan, yakni kerukunan bangsa Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar