Jumat, 10 Maret 2017

Ki Wandi: Doa Kejawen Sebagai Doa Multikultural

Wilayah Metropolitan Malang Raya menawarkan sejuta keindahan alam. Banyak tempat wisata alam maupun buatan yang populer sehingga menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Kawasan metropolitan kedua di Jawa Timur setelah Gerbangkertosusilo ini juga memiliki aset sosial budaya yang beragam.


Keberagaman budaya yang ditampilkan oleh masyarakat Malang Raya dalam harmoni yang indah, justru semakin mempercantik dan memperkaya keindahan alam yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Meskipun masyarakat Malang Raya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Baik adat istiadat, agama, kepercayaan namun budaya tersebut masih dipertahankan sejak nenek moyang hingga sekarang. Wujud budaya itu, salah satunya adalah Kejawen.

Kejawen sebagai wujud budaya dalam masyarakat Jawa menurut Kuncaraningrat (2009) terdiri dari ide, tindakan, dan artefak atau benda-benda hasil karya manusia. Kejawen merupakan sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa. Secara hakikat, Kejawen merupakan filsafat yang keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama:  Tiyang Jawi) itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa,  dalam bahasa Indonesia berarti "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.

Sementara menurut Santoso (2015), Kejawen dalam pandangan umum masyarakat tak lekang dari manifestasi seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Hingga Kejawen juga memiliki arti sebagai aliran spiritual atau sisi spiritual suku Jawa. Apa yang dilakukan oleh pelaku spritual Kejawen agar memenuhi kadar spiritual Kejawen?

Santoso menyebut ada dua tindakan atau laku atau olah spiritual utama yang harus dilakukan oleh pelestari Kejawen. Yakni pasa (berpuasa) dan tapa (bertapa). Tapa mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan kata semedi. Ritual-ritual juga tetap dilaksanakan, diamalkan dan dipelihara secara turun termurun sekalipun di masyarakat Jawa kini telah menganut agama-agama dan kepercayaan yang berbeda dengan nenek moyang mereka pada dahulu kala. Seperti ritual-ritual dan kepercayaan terhadap roh serta wali keramat maupun benda-benda magis, masih tetap mengakar dalam laku keseharian mereka. 

Demikian juga saat melakukan upacara atau ritual di berbagai tempat di golongkan sebagai suatu tindakan religius dan merupakan bagian dari suatu kebudayaan bagi para pelaku Kejawen. Sebagai sebuah tindakan religius, kegiatan dan ritual tertentu pada prinsipnya merupakan upaya manusia dalam mencari hubungan atau berkomunikasi dengan Tuhan, dewa-dewi, ataupun makhluk-makluk yang menghuni alam gaib. Kegiatan manusia tersebut sudah tentu dilandasi dan didorong oleh adanya emosi keagamaan (relegious emotion), sebuah getaran spiritual yang dipercaya menggerakkan jiwa manusia

Komunikasi Transendental
Dilihat dari perspektif Ilmu Komunikasi, upaya menjalin hubungan yang dilakukan pelaku Kejawen tersebut dengan menyampaikan pesan berupa doa atau mantra dikenal sebagai komunikasi transendental. Mantra adalah kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979). Sebagian orang percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham atau wangsit dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan ataupun teks menurut bahasa di mana mantra itu berada.
                                                                                   
Sementara menurut Deddy Mulyana, meskipun komunikasi yang disebut komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan, akan tetapi bentuk komunikasi seperti inilah yang terpenting bagi manusia. Sebab keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, manusia berhasil atau tidak dalam berhubungan dengan Tuhan atau bagaimana ia bisa menempati surga di akhirat, tergantung pada strategi pendekatan yang dilakukannya.

Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Hayat Padje, bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi dengan sesuatu yang bersifat “gaib”, termasuk komunikasi dengan Tuhan. Gaib di sini, sama halnya dengan pendapat Indrajati, adalah hal-hal yang sifatnya supranatural, adikodrati, suatu realitas yang melampaui kenyataan duniawi semata.

Wujud hal gaib yang dimaksudkan dalam agama modern yang disebut “Tuhan “ atau “Allah” atau nama lain yang sejalan dengan pengertian itu.  Keterbukaan kepada hal gaib merupakan keterbukaan kepada kebaikan, kepada hal yang positif dan terpuji. Kepercayaan kepada hal gaib adalah kepercayaan manusia mengenai adanya suatu kuasa yang ada dalam hidup dan kehidupannya, melebihi kekuatan dunia ini yang mempengaruhi hidupnya.

Doa Multikultural
Salah seorang pelaku ajaran Kejawen di Malang Raya, Ki Wandi, menyatakan doa atau mantra yang diungkapkan dengan menggunakan Kejawen, mulai dari tata cara dan bahasa yang digunakan yakni bahasa sastra Kawi yang kuna makuna (kuno). Ki Wandi mengatakan hal tersebut usai memimpin doa saat pembukaan kegiatan Budaya dan Arak Tumpeng Ageng Arjuno pada Artjuno Fest di UB Forest Kawasan Lereng Gunung Arjuno, Bonowarih, Karangploso, Kabupaten Malang dalam rangka Dies Natalis ke-54 Universitas Brawijaya Sabtu, 6 Januari 2017 lalu.

Menurut Ki Wandi, doa yang dipanjatkannya merupakan doa yang dapat mengatasi perbedaan agama maupun kepercayaan yang dianut masyarakat saat ini. Sebab, subtansi doa tidak hanya dipandang sempit tetapi juga mencerminkan kebhinekaan Indonesia yang bersifat sosio-spiritual.

Sosio-spiritual digambarkan dengan adanya kesadaran akan Sang Pencipta tumbuh sumbur di kalangan pemeluknya karena ladang-ladang agama dipupuk dan dipelihara oleh negara. Sehingga frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kearifan dalam merengkuh dan merangkul keanekaragaman agama-agama dan kepercayaan (Baidhawy, 2016).

Pemimpin Padepokan Gunung Ukir (PGU) di lereng Gunung Wukir itu menyatakan saat prosesi doa, yang hadir di tempat tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan pemeluk tujuh agama dan kepercayaan. Yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan kepercayaan. Sehingga doa yang digunakan cukup satu yakni mantra atau doa dengan menggunakan bahasa sastra Kawi yang kuna makuna. Bahasa yang digunakan saat zaman masih berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Inti doa yang dilantunkan selain sebagai permintaan keselamatan juga sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan doa tersebut diharapkan masing-masing penganut agama yang hadir tidak “tersinggung”. Apalagi doa kuna  makuna sudah ada sebelum agama-agama “modern” hadir di Nusantara. Ki Wandi mengingatkan bahwa kita hidup di dunia jangan sampai dicampuradukan pada agama, sebab agama itu lakum dinukum wa liyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku). Akan tetapi sebagai manusia diwajibkan menghormati adat istiadat dimana kita berada, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.   

Pesan lain yang ingin disampaikan oleh Ki Wandi bahwa manungsa aja lali nang kawitane (manusia jangan lupa dengan dahulunya). Sebab dalam berdoa, para pendahulu melaksanakannya dengan tata cara seperti itu. Hingga sampai sekarang pun dikenang, dicari, digali kembali dan diharapkan dapat dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Indonesia. Bahkan melalui seni dan budaya, Ki Wandi meyakini unsurnya dapat menggaet dan menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam sebuah bingkai kerukunan, yakni kerukunan bangsa Indonesia. (*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar