Rabu, 08 Maret 2017

Pelajaran Berharga Boikot Arla di Timur Tengah

CASE STUDY-CRISIS MANAGEMENT:

 ARLA PRODUCT BOYCOTT IN THE MIDDLE EAST

Arla Foods is a cooperative based in Århus, Denmark, and the largest producer of dairy products in Scandinavia. It is owned by 11,000 Danish and Swedish farmers. The company has a large presence in the Middle East, with annual sales there of US$480 million. On 30 September 2005, Danish newspaper Jyllands-Posten published 12 editorial cartoons that depicted the prophet Muhammad. Besides depicting the prophet – which is blasphemy to Muslims – the cartoons were considered by many to be Islamophobic and racist. The newspaper said the cartoons were an attempt to contribute to the debate regarding criticism of Islam and self-censorship. Between October 2005 and February 2006, the cartoons were reprinted in several major European newspapers in Norway, the Netherlands, Germany, Belgium and France. This led to protests from Muslims across the world. Protest action included: setting fire to the Norwegian and Danish embassies in Damascus and Beirut; attacks on the Danish embassy in Tehran; and gunmen storming an EU building in Gaza City demanding an apology from Denmark and Norway.
Soon after the widespread publication of the cartoons, ambassadors from Muslim-majority countries requested a meeting with the Danish prime minister, Anders Fogh Rasmussen, to discuss the publications and perceived wider mistreatment of Muslims in Denmark. The Danish government declined the meeting, saying it could not influence the press. In his New Year speech, the prime minister chose not to apologize, but instead spoke of sensitivities when exercising free speech. On 20 January 2006, Saudi Arabian political and religious figures called for a boycott of Danish products. Arla responded by placing advertisements in Saudi newspapers distancing itself from the cartoons. Arla told the offending newspaper, Jyllands-Posten: ‘We fear that we will be hit by a wave of consumer anger.’ The company also decided to put full-page advertisements in Saudi newspapers showing the official Danish stance on Islam. But Arla later admitted this action had not helped.
On 27 January, the Confederation of Danish Industries appealed to Jyllands-Posten to print an apology for having commissioned the drawings, which they did on 31 January. The newspaper published two open letters on its website: one from the newspaper itself apologizing for the offence caused to Muslims; and the other from the artist who had depicted Muhammad with a bomb in his turban, justifying his cartoon. The prime minister welcomed the apology, but said: ‘The Danish government cannot apologize on behalf of a Danish newspaper… independent media are not edited by the government.’ Meanwhile, Swiss giant Nestlé admitted to advertising in a Saudi paper telling consumers that two of the products it sold in the region were not of Danish origin. The company denied it was an ‘anti-Danish’ measure and justified the advert by saying it had achieved its purpose, with Nestlé sales normalizing.
At the end of January, Arla said the boycott of Danish products in the Middle East was almost total and that all its customers in the region had cancelled their orders. This resulted in 100 lay-offs. Arla said: ‘We have found ourselves in the middle of a game we have no part in.’ It added that it was very difficult to get this particular message across to its Muslim customers. ‘We have taken 40 years to build up a very big business in the Middle East, and we’ve seen it come to a complete stop in five days.’ January also saw an attack on two Arla employees, and in February Arla said the boycott was costing the company £1 million per day.

Outcome
On 1 March, Arla estimated the cost of the boycott would amount to US$64 million. But it reaffirmed its commitment to the Middle East: ‘Even if the situation looks very difficult, we believe that Arla has a future in the Middle East.’ Later that month, Arla began remarketing in the Middle East with full-page advertisements in 25 Arab newspapers. At the beginning of April, Arla products were beginning to be put back on the shelves of stores in the Middle East. It also said it would be sponsoring humanitarian causes in the region. However, it said: ‘While we may be seeing a slow lifting of the boycott by retailers, it remains to be seen whether customers will in fact buy our products.’ By August, sales had returned to pre-boycott levels in most Gulf states with the exception of Saudi Arabia (Arla’s largest market in the region). Arla’s chairman, Knud Erik Jensen, said: ‘With regard to the Middle East, the outcome has been slightly worse than expected last spring’.

“What lesson can we get from the case?” by analysing the case.
Please analyse:
-      Why did the event happen? What was the cause triggering the event?
-      Explain the case by making issue lifecycle
-      What did the company do/respond with the event? Based on the outcome, was it proper respond? etc


A. PENDAHULUAN
Awal mula boikot produk yang dialami Arla Food, produsen susu terbesar di negara Skandinavia, akibat terkena imbas terbitnya 12 kartun editorial sosok Nabi Muhammas SAW dalam Surat Kabar Jyllands-Posten Denmark tanggal 30 September 2005 (Regester & Larkin, 2008). Dengan terbitnya kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dianggap telah melecehkan umat Islam di dunia. Seperti diketahui bahwa Muhammad SAW merupakan  nabi umat Islam dan merupakan junjungan bagi umat Muslim. Apalagi peredaran kartun di surat kabar Jyllands-Posten Denmark semakin meluas. Bahkan kartun tersebut dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman, Belgia dan Perancis antara Oktober 2005 hingga Februari 2006.  Selain menggambarkan nabi Muhammad- yang merupakan penghujatan untuk Muslim-kartun itu dianggap oleh banyak orang menjadi Islamfobia dan rasis. Pembelaan yang dilakukan surat kabar tersebut sebagai upaya untuk berkontribusi terhadap perdebatan mengenai kritik Islam dan sensor diri.
Akibatnya terjadi hal-hal krusial dengan adanya protes yang dilakukan umat Islam dimana-mana. Aksi protes antara lain membakar kedutaan Norwegia dan Denmark di Damaskus dan  Beirut, serangan terhadap Kedutaan Besar Denmark di Teheran, dan orang-orang bersenjata menyerbu sebuah gedung Uni Eropa di Kota Gaza menuntut permintaan maaf dari Denmark dan Norwegia.
Demikian juga bagi Arla Foods, koperasi yang berbasis di Arhus, Denmark yang dimiliki oleh 11.000 petani Denmark dan Swedia mempunyai pangsa pasar besar di kawasan Timur tengah dengan penjualan tahunan mencapai US $ 480 juta, terkena imbas. Dampak buruk melanda Arla Food  yang telah membangun bisnis besarnya selama 40 tahun di kawasan Timur Tengah, sebagai pusat Islam peradaban umat Islam.
Sebagai negara yang menjadi tempat diterbitkannya Surat Kabar Jyllands-Posten, Denmark semestinya melakukan perannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah antara surat kabar yang berada di wilayahnya dengan tuntutan umat Islam. Bahkan sampai negara-negara mayoritas Muslim mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk meminta maaf atas apa yang terjadi, melalui permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen yang  tidak pernah terjadi. Justru Pemerintah Denmark menolak meminta maaf dan membiarkan permasalahan tersebut bergulir dengan alasan apa yang dilakukan Pemerintah Denmark tidak dapat mempengaruhi media dan Pemerintah Denmark menganggap apa yang diterbitkan oleh media sebagai perwujudan kebebasan pers.
Seiring waktu, permasalahan semakin membesar dan pelik seperti bola salju yang menggelinding. Hingga pada tanggal 20 Januari 2006, tokoh-tokoh politik dan agama Arab Saudi mengajak umat Islam untuk memboikot seluruh produk dari negara Denmark.
Sebagai salah satu produsen bahan makanan dan minuman yang berasal dari Denmark, Arla melihat pemboikotan produk negara Denmark oleh umat Muslim merupakan permasalahan yang serius. Sebab pemboikotan produk Denmark dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap penjualan produk Arla yang dipastikan terkena boikot. Untuk itu Arla berusaha merespon dan menghindari pusaran kasus dengan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan Arla dengan memasang iklan di surat kabar. Salah satunya iklan satu halaman penuh di Koran Saudi yang menunjukkan sikap resmi Denmark tentang Islam. Namun hal tersebut tidak membantu Arla keluar dari persoalan.
Sampai Konfederasi Industri Denmark mengajukan banding ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf dan terwujud dengan menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. Namun sayangnya Pemerintah Denmark tidak juga meminta maaf atas nama surat kabar Denmark dengan alasan Pemerintah tidak ada campur tangan atas kebijakan penerbitan sebuah media.
Lain halnya yang dilakukan Nestlé, meski awalnya berdampak pada penjualan, Nestlé memasang iklan dan mengatakan bahwa produk yang dijualnya bukan berasal dari Denmark. Sehingga hasilnya penjualan Nestlé kembali normal.
Akibat gerakan boikot tersebut, Arla harus menanggung kerugian besar. Hampir seluruh pelanggan di kawasan di Timur Tengah membatalkan pesanan pada akhir Januari. Hingga Arla tersadar betapa sulitnya meraih kembali kepercayaan pelanggan hingga bisnis besar yang dibangun selama 40 tahun namun hancur hanya dalam waktu lima hari. Di Bulan Februari kerugian perusahaan akibat bokot £ 1 juta per hari.
Sampai pada tanggal 1 Maret, Arla memperkirakan biaya boikot akan berjumlah US $ 64 juta. Tapi Arla bertekad dan berkomitmen untuk bangkit. Dengan kepercayaan diri Arla mulai pemasaran ulang di Timur Tengah dengan iklan-iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal April, produk Arla mulai dimasukkan kembali di rak-rak toko di Timur Tengah. Arla juga mengatakan akan mensponsori aksi kemanusiaan di wilayah tersebut. Hingga meski penjualan berjalan lambat akibat boikot, namun perlahan pelanggan Arla membeli produk Arla.
Sampai pada Agustus,  penjualan telah kembali seperti sebelum terjadi boikot di sebagian besar negara-negara Teluk dengan pengecualian Arab Saudi sebagai pasar terbesar Arla di wilayah tersebut.

B. PERMASALAHAN
Dari penjelasan diatas, permasalahan yang dapat diidentifikasi antara lain:
1. Mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi dan apa penyebabnya?
2. Bagaimana gambaran siklus hidup kasus tersebut?
3. Apa respon perusahaan terhadap permasalahan dan berdasarkan hasilnya, apakah respon yang dilakukan Arla tepat?

C. ANALISIS PERMASALAHAN
            Kasus boikot produk negara Denmark berdampak pada produk Arla. Sebab Arla merupakan salah satu produsen produk susu terbesar dari Denmark. Boikot tersebut terjadi karena dipicu oleh (triggered by) terbitnya 12 kartun editorial sosok Nabi Muhammas SAW dalam Surat Kabar Jyllands-Posten Denmark tanggal 30 September 2005. Dengan terbitnya kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dianggap telah melecehkan umat Islam di dunia. Sehingga kaum Muslim melakukan protes keras. Seperti diketahui bahwa Muhammad SAW merupakan  nabi umat Islam dan merupakan junjungan bagi umat Muslim. Umat Muslim menilai hal tersebut merupakan perbuatan penistaan agama.
            Namun Jyllands-Posten acuh tak acuh dengan portes publik, bahkan akhirnya mereka terlambat untuk meminta maaf setelah ada desakan dari  berbagai pihak. Demikian juga Pemerintah Denmark pun hanya tinggal diam dan terkesan membiarkan serta tak berupaya memfasilitasi agar surat kabar tersebut meminta maaf. Dengan alasan bukan ranahnya Pemerintah Denmark mengintervensi surat kabar tersebut. Pemerintah berpegang teguh pada konstitusi Denmark yang memberi kebebasan pers. Namun dalam persoalan penistaan agama ini, seharusnya Pemerintah Denmark yang memiliki kewenangan dapat memfasilitasi keinginan publik untuk dapat berdialog dengan Jyllands-Posten. Sehingga permasalahan ini tidak berbuntut panjang yang merugikan publik Denmark, utamanya para pengusaha yang memiliki hubungan bisnis dengan Timur Tengah.
            Akibat adanya kesenjangan antara harapan publik di kawasan Timur Tengah akibat konsekuensi beredarnya isu penistaan agama yang dilakukan surat kabar Denmark, membuat isu berkembang menjadi boikot. Isu muncul ketika terjadi karena perbedaan antara harapan publik dengan kebijakan, operasional, produk atau komitmen organisasi terhadap publiknya. Hal tersebut sesuai dengan The Issue Management Council (dikutip dalam Kriyantono, 2012a. H. 152). Isu boikot produk Denmark ternyata berimbas pada produk Arla (Produk Arla ikut diboikot) sehingga membuat Arla sebagai salah satu produsen dari Denmark tiba-tiba terjerumus dalam krisis.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disebutkan Kriyantono (2014), bahwa krisis merupakan situasi tiba-tiba, tidak terduga (mungkin saya bisa menduga akan terjadi, tetapi tidak tahu kapan terjadinya), menimbulkan kepanikan, berpotensi menimbulkan konflik dan kerusakan sosial, ekonomi, psikologi dan budaya, serta terdapat ketidakpastian informasi. Dampak pemboikotan produk Arla sebenarnya bukan langsung ditujukan oleh publik, namun akibat ketidakpastian informasi dalam menanggapi isu sensitif tersebut.   
            Untuk itu, isu yang berkembang harus dapat dikelola dengan baik agar tidak menjadi krisis. Sehingga perlu diketahui jenis penanganan apa yang harus kerjakan saat itu sesuai dengan tahapan perkembangan isu hingga menjadi krisis. Arla sebelumnya tidak menyangka bahwa apa yang tidak menjadi kesalahannya (perbuatan organisasi lain) telah membuat Arla terpuruk dalam krisis. Krisis tidak di trigger oleh organissasi sendiri, bisa juga oleh organisasi lain. Seharusnya Arla menangkal seluruh potensi krisis baik yang dilakukan pihaknya sendiri maupun organisasi lain. Apalagi benih-benih krisis atau terjadinya isu dapat terjadi kapan saja dan darimana saja.
Kasus penistaan agama oleh Jylland-Posten  yang menerbitkan kartun Nabi Muhammad, sebelumnya tidak ada yang menyangka akan berakibat buruk. Padahal jika seniman pelukis kartun tidak menggambar Nabi Muhammad dan redaktur Jyllands-Posten dapat melihat dalam perspektif umat Muslim dan berpikir toleransi antar agama dan berpikir kartun tersebut jadi masalah jika dipublikasikan, maka masalah isu ini tidak akan menjadi krisis.
Menurut Hainsworsth dan Meng (dikutip di Kriyantono, 2012, h. 159) ada empat tahap perkembangan isu, antara lain:
1. Tahap Origin (Potential Stage)
Pada tahap ini menggambarkan adanya perhatian dari seseorang atau sekelompok terhadap isu tertentu dan memberikan opini maupun tindakan atas isu tersebut.
Isu muncul ketika kelompok Muslim tidak terima ketika kartun Nabi Muhammas SAW diterbitkan oleh salah satu surat kabar Denmark, yaitu Jyllands-Posten. Mereka protes karena kartun tersebut melecehkan Nabi yang menjadi junjungan mereka dan sebagai bentuk penistaan agama Islam.
2. Tahap Mediation dan Amplification
    Isu berkembang ketika adanya kelompok-kelompok yang mendukung dan memberikan perhatian pada isu-isu tersebut.
    Di tahap ini, tidak terjadi Mediation dan Amplification yang diharapkan. Protes yang dilancarkan umat Islam hanya angin lalu. Surat Kabar yang menerbitkan kartun maupun  pemerintah yang berwenang hanya berdiam diri. Karena tidak ada tanggapan terhadap protes, baik dari surat kabar Jyllands-Posten maupun Pemerintah Denmark akhirnya para pemuka agama Islam mengajak masyarakat di kawasan Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam untuk memboikot produk Denmark. Produk Arla terkena dampak boikot karena Arla merupakan salah satu produsen yang berasal dari Denmark. Padahal Arla tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan surat kabar Jyllands-Posten akan berdampak negatif, berupa tahap perkembangan selanjutnya.
 3. Tahap Organization
     Tahap ini menjelaskan bahwa publik sudah mengorganisasi dan membentuk jaringan-jaringan. Dalam tahap ini terbagi menjadi dua bagian, meliputi:
a. Current Stage: isu berkembang menjadi populer karena media massa memberitakan berulang kali dan berbagai interaksi di media sosial dan jaringan.
Isu semakin digoreng dengan peredaran kartun di surat kabar Jyllands-Posten Denmark semakin meluas. Bahkan kartun tersebut dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman, Belgia dan Perancis antara Oktober 2005 hingga Februari 2006.
b.  Critical Stage: publik mulai terbagi ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan, yakni kelompok yang setuju dan kelompok penentang.
Satu kelompok mendukung bahwa benar jika kartun Nabi Muhammad merupakan sebuah penghinaan bagi umat Islam. Arla masuk dalam kelompok ini dengan memasang iklan di surat kabar Arab Saudi sebagai penegasan sikap Arla berpihak dimana. Namun di kelompok lain yakni pemerintah Denmark lepas tangan dan tanpa menyatakan permohonan maafnya kepada publik Islam sebagai pernyataan resmi negara. Akibatnya Arla Foods secara langsung dianggap memiliki pandangan yang sama dengan pemerintahnya, negara Denmark. Sehingga boikot produk Arla tak terelakan lagi.
4. Tahap Resolution
Tahap ini menjabarkan bahwa perusahaan atau organisasi dianggap telah dapat mengatasi isu sehingga pemberitaan dan perhatian masyarakat juga menurun. Sehingga dapat diasumsikan bahwa masalah tersebut telah selesai sampai suatu saat muncul kembali dengan persoalan yang baru namun masih memiliki keterkaitan.
Dengan adanya banding dari Konfederasi Industri Denmark ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf sehingga mereka menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. Namun sayangnya Pemerintah Denmark tidak juga meminta maaf atas nama surat kabar Denmark dengan alasan Pemerintah tidak ada campur tangan atas kebijakan penerbitan sebuah media. Meski demikian sulit bagi Arla Foods mengapa mereka terjebak dalam posisi terjepit padahal mereka tak ada sangkut pautnya. Upaya Arla selanjutnya dengan mencoba bangkit meraih pangsa pasar kembali segera dilakukan. Arla melakukan berbagai strategi seperti mensponsori kegiatan kemanusiaan di wilayah berkembangnya isu dan krisis dengan sebelumnya memasang ikla satu halaman di 25 harian Arab Saudi. Produk Arla pun kembali memenuhi keranjang belanjaan masyarakat Timur Tengah. 

Issue Lifecycle
Dari paparan kasus diatas, Regester & Larkin (2008) menggambarkan tahapan perkembangan  kasus tersebut melalui sebuah siklus hidup kasus (Issue Lifecycle), yang dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini:
Gambar 1. Issue Lifecycle
Regester & Larkin (2008)




Dapat dijelaskan dari gambar Issue Lifecycle kasus Arla Foods menurut Regester dan Larkin (2008) bahwa isu digambarkan mengalami perkembangan dan juga mengalami intensitas. Isu berkembang ketika Surat Kabar Jyllans-Posten Denmark mempublikasikan kartun editorial yang menggambarkan Nabi Muhammad pada tanggal 30 September 2005. Kemudian isu berkembang lagi karena pada bulan Oktober dan seterusnya kartun itu dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa. Hingga intensitas isu meningkat pada tanggal 12 Oktober 2006 karena sebanyak 11 duta besar dari negara-negara mayoritas msulim  ditolak untuk bertemu dengan Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen. Hingga isu berkembang di tanggal 20 Januari 2006: Tokoh agama dan politik Arab Saudi menyerukan boikot produk Denmark.
Pada tanggal 27 Januari ada tiga intensitas isu yang muncul mewarnai kasus ini. Yakni pertama, Arla menempatkan iklan satu halaman penuh di Surat Kabar Saudi mempromosikan sikap resmi Denmark pada Islam. Kedua, Konfederasi Industri Denmark mengajukan banding ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf karena menerbitkan kartun dan ketiga Nestlé dalam iklan di sebuah surat kabar Saudi mengatakan kepada konsumen bahwa dua produk yang dijual di kawasan Timur Tengah bukan berasal dari Denmark.
Selanjutnya isu berkembang pada tanggal 28 Januari, Arla memasang iklan di beberapa surat kabar Timur Tengah memisahkan diri agar tidak dikaitkan dengan kartun. Perkembangan pada tanggal 30 Januari Arla mengatakan boikot menyebabkan kerugian besar, hampir seluruh pelanggan di kawasan di Timur Tengah membatalkan pesanan. Pada tanggal 31 Januari, dengan posisi hampir dipuncak perkembangan, Jyllands-Posten mencetak permintaan maaf dengan menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya. Pada tanggal 1 Maret pada posisi intensitas datar, dengan kepercayaan diri Arla mulai pemasaran ulang di Timur Tengah dengan memasang iklan-iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Dan posisi isu telah menurun di awal April, produk Arla mulai dimasukkan kembali di rak-rak toko di Timur Tengah. Arla juga mengatakan akan mensponsori aksi kemanusiaan di wilayah tersebut. Hingga meski penjualan berjalan lambat akibat boikot, namun perlahan pelanggan Arla membeli produk Arla. Sehingga Arla telah hampir keluar dari krisis di bulan Agustus,  penjualan telah kembali seperti sebelum terjadi boikot di sebagian besar negara-negara Teluk dengan pengecualian Arab Saudi sebagai pasar terbesar Arla di wilayah tersebut.
 
Respon Arla Foods
Respon Arla atas Aksi Boikot Timur Tengah terhadap produknya dapat dilihat dari gambar issue lifecycle diatas:
1. Arla menempatkan iklan satu halaman penuh di Surat Kabar Saudi berisi sikap Arla bahwa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan surat kabar Jylllands-Posten dinilai telah menyinggung umat Islam dan mempromosikan sikap resmi Denmark pada Islam.
2.  Arla memasang iklan di beberapa surat kabar Timur Tengah memisahkan diri agar tidak dikaitkan dengan kartun.       .
3.  Melakukan penghitungan jumlah kerugian dan kerugian yang akan ditanggung bila krisis terus berlanjut.
4.  Melakukan pemasaran ulang di Timur Tengah dengan memasang iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab Saudi.
3. Menjadi sponsor kegiatan kemanusiaan di Timur Tengah
4. Melakukan evaluasi respon pelanggan terhadap produk Arla yang dijual kembali di kawasan Timur Tengah.       
Beberapa respon yang dilakukan oleh Arla Foods sebagai upaya mengatasi aksi boikot di Timur Tengah terhadap produk Denmark, yang berimbas pada boikot produk Arla, sehingga membuat Arla mengalami krisis. Padahal pangsa pasar Arla Foods sebagai produsen  susu merupakan yang terbesar di kawasan Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Sehingga manajemen Arla berupaya dengan berbagai strategi agar pangsar pasar di wilayah Timur Tengah tetap terjaga sehingga dampak yang lebih buruk jangan sampai terjadi.
Respon yang pertama dilakukan oleh Arla yakni memasang iklan di surat kabar Arab Saudi yang berisi sikap Arla bahwa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan surat kabar Jylllands-Posten dinilai telah menyinggung umat Islam. Selain itu, Arla memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah yang pro Islam. Namun langkah ini hanya sia-sia, tak ada efek yang positif yang ditimbulkan.
Respon selanjutnya, Arla memasang iklan kembali sebagai upaya Arla untuk memisahkan diri dari situasi yang tengah terjadi. Hal tersebut sesuai apa yang dikatakan oleh Hearit, K. M. (1995; 2005 yang dikutip Kriyantono, 2014. h. 180) sebagai pemisahan atau ketidakterhubungan sebagai salah satu atau substrategi dari bentuk strategi mendefinisikan kembali (re-definition) bahwa tuduhan yang dialamatkan ke Arla tidak akurat dan tidak merefleksikan fakta sebenarnya yang terjadi.
Arla khawatir kasus penistaan agama oleh Jyllands-Posten dengan menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW akan meluas dan berdampak pada penjualan produknya di kawasan Timur Tengah. Chalil (2001:6) mengatakan “Nabi Muhammad diturunkan di dunia menjadi nabi dan rasul Allah”. Sehingga menurut pandangan kaum Muslim, sosok Nabi Muhammad merupakan junjungan dan penerbitan kartun Nabi Muhammad merupakan penghinaan dan merupakan penistaan agama Islam. Untuk itu Arla berupaya menunjukkan bukti bahwa posisi Arla tidak terkait dengan penistaan agama yang dilakukan oleh surat kabar Jyllands-Posten. Hal tersebut agar konsumen Arla di kawasan Timur Tengah tetap setia dengan produk Arla.
Namun boikot yang dirasakan oleh Arla kian semakin memperparah keadaan. Arla gagal dalam melaksanakan perannya yang penting terkait fungsi dan peran manajemen Public Relations (PR). Menurut Toth (2002 yang dikutip Kriyantono, 2014. h. 83) PR adalah proses mengelola strategi komunikasi untuk membangun relasi yang baik antara organisasi dan publiknya. PR adalah “management by communications” Culbertson, dkk. (1993:12 yang dikutip Kriyantono, 2014). Artinya,  komunikasi sebagai alat utama PR memainkan peran sentral dalam proses saling berhubungan antara organisasi, PR, dan publiknya. Sedangkan menurut Lattimore, dkk. (2007); White & Dozier (2008 yang dikutip Kriyantono, 2014), menyebut ada dua peran yang diharapkan dilakukan secara terus menerus oleh PR. Pertama, peran teknis, yaitu hal-hal yang menyangkut pekerjaan teknis seperti menulis, press-release, membuat newsletter, fotografi, membuat produksi audiovisual dan menggelar event. Kedua, peran manajerial, yaitu berkaitan dengan aktivitas yang membantu manajemen dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Dalam melaksanakan peran manajerial, PR bertindak sebagai:
-    Seorang ahli yang mampu mendefinisikan masalah, mengusulkan berbagai alternatif pemecahan masalah, dan melaksanakan upaya pemecahan masalahnya (expert presciber).
-    Seorang yang menjadi mediator dan fasilitator yang menyediakan saluran komunikasi dua arah timbal balik antara organisasi dan publiknya (communicaton facilitator)
-    Sebagai problem-solving facilitator yang mampu bertindak sebagai partner, mitra, atau teman bagi manajer senior dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang menimpa organisasi.
Melihat fungsi PR tersebut, PR Arla belum mampu mengelola strategi komunikasi dalam membangun relasi yang baik antara organisasi dan publiknya. Sementara proses berhubungan dengan organisasi, PR, dan publiknya juga gagal dilakukan. Boikot yang terjadi akibat Arla tidak menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan surat kabar Jyllands-Posten dan Pemerintah Denmark untuk mengkondisikan permasalahan yang terjadi. Meski sudah ada upaya untuk menjalin hubungan tersebut oleh PR Arla Hal yang seharusnya memang harus dilakukan PR Arla dalam peran manajerial PR sebagai mediator dan fasilitator.   
Arla juga mengalami kegagalan peran sebagai manajemen PR, sebab dalam melaksanakan identifikasi permasalahan sehingga berujung pada krisis dan boikot produk. Seharusnya PR Arla mampu memahami secara keseluruhan karakter publik yang menjadi konsumen atau target pasarnya. Sehingga ketika ada percikan yang mengarah ke krisis dapat ditangani segera dengan baik.
Meski demikian, apa yang dilakukan Arla dimenit-menit terakhir setelah adanya permintaan maaf dari Surat Kabar Jyllands-Posten dengan keyakinan dan optimis membuka pasar kembali pada bulan April, dapat menyelamatkan Arla dari ambang  kehancuran. Meskipun pertumbuhannya melambat dan baru normal di bulan Agustus, kecuali wilayah Arab Saudi, Arla dapat berupaya mengembalikan kepercayaan konsumennya dan terus melakukan evaluasi. Pembukaan pasar kembali juga dibarengi dengan penerbitan ikal satu halaman penuh di 25 koran Arab Saudi. Bahkan Arla mendukung kegiatan kemanusiaan agar mendapatkan legitimasi dari publik dan dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan.

D. KESIMPULAN


Dari paparan kasus diatas, memang merupakan pelajaran berharga yang telah dialami oleh Arla Foods. Kasus ini juga bisa menjadi pelajaran berharga organisasi maupun perusahaan dalam memandang isu dan krisis. Tak terbayangkan sebelumnya kesalahan yang dilakukan oleh organisasi lain bisa berdampak besar terhadap Arla Foods. Yakni bermula Jyllands-Posten menerbitkan kartun penistaan agama terhadap Nabi Muhammad SAW yang dikecam kaum Muslim, khususnya di kawasan Timur Tengah. Sampai berakibat boikot terhadap produk dari negara Denmark oleh warga Timur Tengah khususnya umat Muslim. Apalagi kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang warganya dominan memeluk agama Islam. Sehingga apapun yang terjadi atau dilakukan oleh organisasi lain, harus tetap diantisipasi, diwaspadai dan ditanggapi secara maksimal.
Perkembangan isu menjadi krisis memang tidak terlihat dan tidak disangka-sangka. Ada beberapa tahap perkembangan isu dalam kasus boikot produk dari negara Denmark dan khususnya produk Arla Foods. Tahap-tahap tersebut antara lain 1). Tahap Origin (Potential Stage), dimana isu awal Isu muncul ketika kelompok Muslim tidak terima ketika kartun Nabi Muhammas SAW diterbitkan oleh salah satu surat kabar Denmark, yaitu Jyllands-Posten. Mereka protes karena kartun tersebut melecehkan Nabi yang menjadi junjungan mereka dan sebagai bentuk penistaan agama Islam. 2). Tahap Mediation dan Amplification, tahap ini, tidak terjadi Mediation dan Amplification yang diharapkan.  3). Tahap Organization,      Dalam tahap ini terbagi menjadi dua bagian, meliputi: a. Current Stage: isu berkembang menjadi populer karena media massa memberitakan berulang kali dan berbagai interaksi di media sosial dan jaringan. b.  Critical Stage: satu kelompok mendukung bahwa benar jika kartun Nabi Muhammad merupakan sebuah penghinaan bagi umat Islam. Dan 4). Tahap Resolution. Dengan adanya banding dari Konfederasi Industri Denmark ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf sehingga mereka menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. (*)



DAFTAR PUSTAKA


Chalil, M. (2001). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Vol. I). Jakarta: Gema Insani.

Kriyantono, R,. (2012). Public Relations & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations Etnografi Ktitis & Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Kriyantono, R,. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk issues and crisis management in public relations: A casebook of best practice, 4th ed. London: Kogan Page.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar