Jumat, 10 Maret 2017

Guru Asing di Kelas Kursus Bahasa Asing

Diterbitkan di Rubrik Opini Harian Radar Tegal, 02 November 2016

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665560057685&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665501296216&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) RI melalui Kantor Imigrasi Kelas II Pemalang terpaksa menahan paspor salah seorang warga asing (WNA) asal Beijing, Republik Rakyat Cina (RRC) pada Kamis, 27 Oktober 2016. WNA itu diduga menyalahi ijin tinggal, sebab pada Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) tertera kode pelajar. Namun yang bersangkutan bekerja pada lembaga kursus bahasa Mandarin di Jl. A. Yani Kota Tegal. Imigrasi menangkap perempuan itu setelah dua bulan melakukan pengamatan.

Selain itu, berbagai kejanggalan ditemukan ketika petugas Imigrasi meneliti dokumen milik WNA yang ijin tinggalnya di Jakarta, tetapi saat ditangkap ia sedang berada di Kota Tegal. Sementara sponsor WNA tersebut juga tidak melaporkan kepada Imigrasi. Pihak Imigrasi mengancam mendeportasi WNA tersebut jika ditemukan bukti pelanggaran selama dua bulan terakhir. (Radar Tegal/Jawapos.com, 28 Oktober 2016).


Lain lagi ceritanya di Kota Cirebon. Pada malam di hari yang sama, petugas Imigrasi Kelas II Cirebon melaksanakan operasi pemeriksaan rutin dengan sasaran orang asing yang menyalahgunakan izin tinggal. Diketahui ada seorang WNA diduga bekerja di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di Jalan Perjuangan Kota Cirebon. Sebab ketika dilakukan operasi, WNA tersebut sedang melakukan proses pembelajaran kepada ketiga murid yang baru mengikuti kursus. Ketiga murid tersebut mengatakan sedang mengikuti placement test karena hari itu adalah hari pertama mereka mulai kursus. (radarcirebon.com, Jumat, 28 Oktober 2016).

Fenomena banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia tidak dapat dielakan. Apalagi sejak diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Bahkan berhembus isu santer mengenai banjirnya pekerja asing asal Tiongkok sebanyak 10 juta pekerja. Namun isu tersebut telah dibantah oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). 

Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenaker Hery Sudarmanto, menyatakan pekerja asing asal Tiongkok, sebagaimana halnya pekerja asing dari negara lain, mengalami fluktuasi tiap tahun, kadang naik kadang turun dengan rata-rata berkisar 14-16 ribu dalam periode satu tahun atau sekitar 20-22 persen dari total 70-an ribu pekerja asing di Indonesia. Seluruh jumlah tenaga kerja asing itu sekitar 0,027 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta, atau sekitar 0,05 persen jika dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia tahun 2016 sebesar 128 juta (jppn.com, 04 Agustus 2016).

Guru Asing di Lembaga Kursus Bahasa

Banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat dibidang ketenagakerjaan.  Dampaknya bukan hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial-budaya.

Di bidang ekonomi, Lembaga kursus bahasa asing yang mendatangkan native speaker teacher (guru asing) bertujuan untuk menaikan prestise, agar lebih populer, memenangkan persaingan, menarik minat peserta kursus untuk belajar di lembaga tersebut. Tentunya tenaga asing yang mengajar harus telah memiliki izin untuk mengajar di suatu perusahaan atau lembaga pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Sementara di bidang sosial, terjadi pertemuan, interaksi dan komunikasi antar orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda di Lembaga kursus bahasa asing. Demikian pula terjadi komunikasi antarbudaya di dalam satu kelas ketika murid-murid diajar oleh seorang guru asing. Sehingga beberapa peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam. Sebab dalam proses pengajaran bahasa asing melibatkan dua budaya yang memiliki kekhasan masing-masing.

Dalam tulisan ini penulis tidak menyoroti tentang kasus pelanggaran administrasi yang harus dipenuhi oleh WNA yang diduga bekerja sebagai tenaga pengajar. Namun penulis fokus pada strategi yang tepat dilakukan oleh guru asing dan peserta kursus agar komunikasi yang efektif dapat terbangun dengan baik, saat terjadi proses belajar mengajar atau transfering knowledge di sebuah kelas Lembaga Kursus Bahasa Asing. Sebab, saat guru asing mengajar kepada murid-muridnya, komunikasi yang berlangsung pasti tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan mengupas beberapa penelitian yang terdahulu dapat diketahui apa strategi guru asing dan peserta kursus untuk dapat mengajar maupun belajar bahasa asing lebih efektif.

Komunikasi Antarbudaya

Asumsi dasar yang dikembangkan adalah bahwa interaksi kultural umumnya terjadi bersamaan, jika tidak bermula dari kontak dua bahasa berbeda yang melahirkan terminologi bahasa asli (native) dan bahasa asing (foreign). Kontak dua bahasa atau lebih tidak jarang melahirkan ‘persaingan’ atau pengaruh, untuk alasan apa pun, yang pada gilirannya mencetuskan upaya pemertahanan bahasa. (Dedi Irwansyah. 2013).

Sementara menurut Amia Luthfia (2013), saat kedua pihak berkomunikasi ada yang menyiratkan tatapan mata ketidakpahaman, senyuman yang dipaksakan, gumaman komentar dalam bahasa yang tidak jelas akibat tidak dipahaminya kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya terkadang tanpa disadari, pihak lain juga membuat orang lain bingung dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan aksen bicara.

Disebutkan Mitchel (2001) dalam Amia Luthfia (2013), orang-orang dengan budaya yang berbeda memproses informasi dengan cara yang berbeda, menilai perlakuan secara berbeda dan mengukur konsep waktu dan ruang dalam pola yang berbeda pula. Kepekaan atas perbedaan budaya bisa menjelma menjadi  masalah serius.

Dari pendapat tersebut komunikasi antarbudaya jika tidak dipelajari dan dimengerti oleh pihak yang terlibat sebagai partisipan komunikasi dapat mengakibatkan masalah serius. Misalnya terjadi hambatan komunikasi, kesalahpahaman, perbedaan persepsi dan lain sebagainya.

Malista Pauline Christy (2013) mengatakan kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya dan hambatan komunikasi pun berpotensi muncul saat mereka bertemu dan melakukan proses komunikasi. Dari hasil penelitian Malista Pauline Christy pada tahun 2016 yang berjudul “Hambatan Komunikasi Antarbudaya antara Dosen Native Asal China dengan Mahasiswa Indonesia Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra Surabaya”, hambatan yang dialami oleh dosen native asal China antara lain hambatan nilai agama dan worldview, hambatan persepsi (sikap) terhadap latar belakang budaya pendidikan serta hambatan keterampilan verbal. Latar belakang budaya pendidikan meliputi gaya pembelajaran relasional gaya motivasi budaya.

Sedangkan dari pihak mahasiswa Indonesia mengalami hambatan komunikasi yang disebabkan keterampilan bahasa dan perbedaan latar belakang agama dan worldview. Hambatan keterampilan bahasa maupun hambatan aksen mahasiswa Indonesia memengaruhi mereka dalam menyandi pesan dalam bahasa Mandarin menyebabkan persepsi oleh dosen native asal China yang tidak sesuai dengan pesan yang dikehendaki oleh mahasiswa.

Padahal mahasiswa Indonesia yang diteliti oleh Malista beretnis Tionghoa yang memiliki persamaan kultural dengan dosen native asal China. Mereka selaku etnis Tionghoa tidak hanya menerima nilai-nilai yang berlaku di Indonesia, tetapi juga nilai-nilai selaku etnis Tionghoa. Nilai ke-Tionghoaan tersebut berasal dari leluhur mereka yang berasal dari daratan China. Meski demikian, terjadi Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian sering terjadi dalam proses belajar mengajar. Seperti berupa kesalahmengertian oleh dosen native asal China terhadap apa yang dikomunikasikan oleh mahasiswa, maupun kebingungan atau bahkan ketidakmengertian mahasiswa terhadap apa yang dikomunikasikan oleh dosen native. Dalam proses komunikasi antarbudaya, para partisipan komunikasi juga berada dalam situasi tertentu pula yang juga mempengaruhi bagaimana mereka melakukan penyandian dan penyandian balik pesan (Ting-Toomey. 2005, p.43).

Hal yang sama juga bisa diterapkan ketika seorang WNA asal Tiongkok yang menjadi tenaga pengajar di Lembaga Kursus Bahasa Mandarin di Kota Tegal. Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian dalam proses belajar mengajar pasti sering terjadi. Apalagi peserta kursus bahasa Mandarin bukan hanya keturunan Tionghia yang memiliki leluhur yang berasal dari China sehingga mereka mendapat penanaman nilai selaku etnis Tionghoa serta nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Peserta kursus juga terdapat orang yang tidak “mengenal” budaya China secara mendalam.

Pendidikan Mulitikultural

Untuk itu dalam dunia pendidikan, diperlukan pemahaman tentang pendidikan multikultural. Agar ketika berada disituasi beda budaya, masyarakat mampu mengatasi hambatan komunikasi. Gibson (dalam Hernandez, 2001) dalam Setya Raharja (2006) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan, mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem kebudayaan sendiri.

Tilaar (2002), mengatakan pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dari apa yang dikemukakan di atas, pada dasarnya dapat dimaknai bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan perbedaan atau keragaman budaya anak didik yang dipengaruhi oleh budaya etnis (kedaerahan), status sosial ekonomi (kelas sosial), gaya hidup kota-desa (way of life), agama, dan keahlian (Soerjono Soekanto, 1990: 206).

Agar berhasil baik, bentuk implementasi pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kriteria atau standar tertentu. Seeberg dan Minick dalam Dedi Irwansyah (2013), pernah membuat empat standar kompetensi lintas budaya, yaitu: (a) penguatan kesadaran kultural; (b) kontak positif antarkelompok melalui upaya untuk meminimalisir syakprasangka antarkelompok; (c) penerimaan, penghormatan (respect), dan apresiasi terhadap individu yang memiliki budaya berbeda; dan (d) perspektik anti-rasis, anti disparitas gender, anti imperialis dan pro aksi keadilan sosial.

Keempat standar tersebut dapat saja dirangkum ke dalam sebuah mata pelajaran atau disisipkan ke dalam pelajaran-pelajaran yang sesuai. Menurut Dedi Irwansyah, pengajaran bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris, bahasa Mandarin memiliki peluang yang besar untuk menanamkan kesadaran lintas budaya sekaligus mengaplikasikan standar pendidikan multikultural yang ditetapkan sebelumnya. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar