https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665560057685&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665501296216&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater
Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) RI
melalui Kantor Imigrasi Kelas II Pemalang terpaksa menahan paspor salah seorang
warga asing (WNA) asal Beijing, Republik Rakyat Cina (RRC) pada Kamis, 27
Oktober 2016. WNA itu diduga menyalahi ijin tinggal, sebab pada Kartu Izin
Tinggal Sementara (KITAS) tertera kode pelajar. Namun yang bersangkutan bekerja
pada lembaga kursus bahasa Mandarin di Jl. A. Yani Kota Tegal. Imigrasi
menangkap perempuan itu setelah dua bulan melakukan pengamatan.
Selain itu, berbagai kejanggalan ditemukan ketika
petugas Imigrasi meneliti dokumen milik WNA yang ijin tinggalnya di Jakarta,
tetapi saat ditangkap ia sedang berada di Kota Tegal. Sementara sponsor WNA
tersebut juga tidak melaporkan kepada Imigrasi. Pihak Imigrasi mengancam
mendeportasi WNA tersebut jika ditemukan bukti pelanggaran selama dua bulan
terakhir. (Radar Tegal/Jawapos.com, 28 Oktober 2016).
Lain lagi ceritanya di Kota Cirebon. Pada malam di
hari yang sama, petugas Imigrasi Kelas II Cirebon melaksanakan operasi pemeriksaan
rutin dengan sasaran orang asing yang menyalahgunakan izin tinggal. Diketahui
ada seorang WNA diduga bekerja di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di
Jalan Perjuangan Kota Cirebon. Sebab ketika dilakukan operasi, WNA tersebut
sedang melakukan proses pembelajaran kepada ketiga murid yang baru mengikuti
kursus. Ketiga murid tersebut mengatakan sedang mengikuti placement test karena hari itu adalah hari pertama mereka mulai
kursus. (radarcirebon.com, Jumat, 28 Oktober 2016).
Fenomena banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang
masuk ke Indonesia tidak dapat dielakan. Apalagi sejak diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Bahkan berhembus isu santer
mengenai banjirnya pekerja asing asal Tiongkok sebanyak 10 juta pekerja. Namun
isu tersebut telah dibantah oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
(Binapenta) Kemenaker Hery Sudarmanto, menyatakan pekerja asing asal Tiongkok,
sebagaimana halnya pekerja asing dari negara lain, mengalami fluktuasi tiap
tahun, kadang naik kadang turun dengan rata-rata berkisar 14-16 ribu dalam
periode satu tahun atau sekitar 20-22 persen dari total 70-an ribu pekerja
asing di Indonesia. Seluruh jumlah tenaga kerja asing itu sekitar 0,027 persen
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta, atau
sekitar 0,05 persen jika dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia tahun
2016 sebesar 128 juta (jppn.com, 04 Agustus 2016).
Guru Asing di Lembaga Kursus Bahasa
Banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia mengakibatkan
persaingan tenaga kerja yang semakin ketat dibidang ketenagakerjaan. Dampaknya bukan hanya terjadi di bidang
ekonomi, tetapi juga di bidang sosial-budaya.
Di bidang ekonomi, Lembaga kursus bahasa asing yang
mendatangkan native speaker teacher
(guru asing) bertujuan untuk menaikan prestise, agar lebih populer, memenangkan
persaingan, menarik minat peserta kursus untuk belajar di lembaga tersebut.
Tentunya tenaga asing yang mengajar harus telah memiliki izin untuk mengajar di
suatu perusahaan atau lembaga pendidikan sesuai dengan persyaratan dan
peraturan yang berlaku di Indonesia.
Sementara di bidang sosial, terjadi pertemuan,
interaksi dan komunikasi antar orang-orang yang berlatar belakang budaya yang
berbeda di Lembaga kursus bahasa asing. Demikian pula terjadi komunikasi
antarbudaya di dalam satu kelas ketika murid-murid diajar oleh seorang guru
asing. Sehingga beberapa peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih
dalam. Sebab dalam proses pengajaran bahasa asing melibatkan dua budaya yang
memiliki kekhasan masing-masing.
Dalam tulisan ini penulis tidak menyoroti tentang
kasus pelanggaran administrasi yang harus dipenuhi oleh WNA yang diduga bekerja
sebagai tenaga pengajar. Namun penulis fokus pada strategi yang tepat dilakukan
oleh guru asing dan peserta kursus agar komunikasi yang efektif dapat terbangun
dengan baik, saat terjadi proses belajar mengajar atau transfering knowledge di sebuah kelas Lembaga Kursus Bahasa Asing.
Sebab, saat guru asing mengajar kepada murid-muridnya, komunikasi yang
berlangsung pasti tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan mengupas beberapa
penelitian yang terdahulu dapat diketahui apa strategi guru asing dan peserta
kursus untuk dapat mengajar maupun belajar bahasa asing lebih efektif.
Komunikasi
Antarbudaya
Asumsi dasar yang dikembangkan adalah bahwa
interaksi kultural umumnya terjadi bersamaan, jika tidak bermula dari kontak
dua bahasa berbeda yang melahirkan terminologi bahasa asli (native) dan bahasa asing (foreign). Kontak dua bahasa atau lebih
tidak jarang melahirkan ‘persaingan’ atau pengaruh, untuk alasan apa pun, yang
pada gilirannya mencetuskan upaya pemertahanan bahasa. (Dedi Irwansyah. 2013).
Sementara menurut Amia Luthfia (2013), saat kedua
pihak berkomunikasi ada yang menyiratkan tatapan mata ketidakpahaman, senyuman
yang dipaksakan, gumaman komentar dalam bahasa yang tidak jelas akibat tidak
dipahaminya kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya terkadang tanpa disadari, pihak
lain juga membuat orang lain bingung dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan
aksen bicara.
Disebutkan Mitchel (2001) dalam Amia Luthfia
(2013), orang-orang dengan budaya yang berbeda memproses informasi dengan cara
yang berbeda, menilai perlakuan secara berbeda dan mengukur konsep waktu dan
ruang dalam pola yang berbeda pula. Kepekaan atas perbedaan budaya bisa
menjelma menjadi masalah serius.
Dari pendapat tersebut komunikasi antarbudaya jika
tidak dipelajari dan dimengerti oleh pihak yang terlibat sebagai partisipan komunikasi
dapat mengakibatkan masalah serius. Misalnya terjadi hambatan komunikasi,
kesalahpahaman, perbedaan persepsi dan lain sebagainya.
Malista Pauline Christy (2013) mengatakan
kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya dan hambatan
komunikasi pun berpotensi muncul saat mereka bertemu dan melakukan proses
komunikasi. Dari hasil penelitian Malista Pauline Christy pada tahun 2016 yang
berjudul “Hambatan Komunikasi Antarbudaya antara Dosen Native Asal China dengan
Mahasiswa Indonesia Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra
Surabaya”, hambatan yang dialami oleh dosen
native asal China antara lain hambatan nilai agama dan worldview, hambatan
persepsi (sikap) terhadap latar belakang budaya pendidikan serta hambatan keterampilan
verbal. Latar belakang budaya pendidikan meliputi gaya pembelajaran relasional
gaya motivasi budaya.
Sedangkan dari pihak mahasiswa Indonesia mengalami
hambatan komunikasi yang disebabkan keterampilan bahasa dan perbedaan latar
belakang agama dan worldview.
Hambatan keterampilan bahasa maupun hambatan aksen mahasiswa Indonesia
memengaruhi mereka dalam menyandi pesan dalam bahasa Mandarin menyebabkan
persepsi oleh dosen native asal China
yang tidak sesuai dengan pesan yang dikehendaki oleh mahasiswa.
Padahal mahasiswa Indonesia yang diteliti oleh
Malista beretnis Tionghoa yang memiliki persamaan kultural dengan dosen native
asal China. Mereka selaku etnis Tionghoa tidak hanya menerima nilai-nilai yang
berlaku di Indonesia, tetapi juga nilai-nilai selaku etnis Tionghoa. Nilai
ke-Tionghoaan tersebut berasal dari leluhur mereka yang berasal dari daratan
China. Meski demikian, terjadi Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian sering
terjadi dalam proses belajar mengajar. Seperti berupa kesalahmengertian oleh
dosen native asal China terhadap apa
yang dikomunikasikan oleh mahasiswa, maupun kebingungan atau bahkan
ketidakmengertian mahasiswa terhadap apa yang dikomunikasikan oleh dosen native. Dalam proses komunikasi
antarbudaya, para partisipan komunikasi juga berada dalam situasi tertentu pula
yang juga mempengaruhi bagaimana mereka melakukan penyandian dan penyandian
balik pesan (Ting-Toomey. 2005, p.43).
Hal yang sama juga bisa diterapkan ketika seorang
WNA asal Tiongkok yang menjadi tenaga pengajar di Lembaga Kursus Bahasa
Mandarin di Kota Tegal. Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian dalam proses
belajar mengajar pasti sering terjadi. Apalagi peserta kursus bahasa Mandarin
bukan hanya keturunan Tionghia yang memiliki leluhur yang berasal dari China sehingga
mereka mendapat penanaman nilai selaku etnis Tionghoa serta nilai-nilai yang
berlaku di Indonesia. Peserta kursus juga terdapat orang yang tidak “mengenal”
budaya China secara mendalam.
Pendidikan
Mulitikultural
Untuk itu dalam dunia pendidikan, diperlukan pemahaman
tentang pendidikan multikultural. Agar ketika berada disituasi beda budaya,
masyarakat mampu mengatasi hambatan komunikasi. Gibson (dalam Hernandez, 2001)
dalam Setya Raharja (2006) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah
sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan,
mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem
kebudayaan sendiri.
Tilaar (2002), mengatakan pendidikan multikultural
mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan
etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi,
HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain
yang relevan.
Dari apa yang dikemukakan di atas, pada dasarnya dapat
dimaknai bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan
perbedaan atau keragaman budaya anak didik yang dipengaruhi oleh budaya etnis
(kedaerahan), status sosial ekonomi (kelas sosial), gaya hidup kota-desa (way
of life), agama, dan keahlian (Soerjono Soekanto, 1990: 206).
Agar berhasil baik, bentuk implementasi pendidikan
multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kriteria atau standar
tertentu. Seeberg dan Minick dalam Dedi Irwansyah (2013), pernah membuat empat
standar kompetensi lintas budaya, yaitu: (a) penguatan kesadaran kultural; (b)
kontak positif antarkelompok melalui upaya untuk meminimalisir syakprasangka
antarkelompok; (c) penerimaan, penghormatan (respect), dan apresiasi terhadap
individu yang memiliki budaya berbeda; dan (d) perspektik anti-rasis, anti
disparitas gender, anti imperialis dan pro aksi keadilan sosial.
Keempat standar tersebut dapat saja dirangkum ke
dalam sebuah mata pelajaran atau disisipkan ke dalam pelajaran-pelajaran yang
sesuai. Menurut Dedi Irwansyah, pengajaran bahasa asing, seperti bahasa Arab
dan bahasa Inggris, bahasa Mandarin memiliki peluang yang besar untuk
menanamkan kesadaran lintas budaya sekaligus mengaplikasikan standar pendidikan
multikultural yang ditetapkan sebelumnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar