Sabtu, 03 Juni 2017

Dilema Pekerja Pabrik Wig dan Bulu Mata Palsu


Pagi tadi di facebook dan group WA ramai diskusi tentang Hukum Bekerja di Pabrik Wig dan yang semisalnya. Postingan yang menyertakan pertanyaan dari seseorang yang kemudian dijawab oleh Ustadz Anas Burhanuddin MA. Dalam pembahasan yang bersumber dari https://almanhaj.or.id/4503-hukum-bekerja-di-pabrik-wig-dan-yang-semisalnya.html, singkatnya penanya mempertanyakan mengenai bagaimana hukum bekerja di pabrik wig dan yang semisalnya. Sebab wig dan bulu mata palsu memang dilarang. Ustadz Anas menyebut hukum memakai kedua benda tersebut. Para Ulama memasukkan pemakaian wig dan bulu mata dalam keumuman hadits larangan menyambung rambut (washl), di antaranya hadits berikut:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ابْنَةً عُرَيِّسًا أَصَابَتْهَا حَصْبَةٌ فَتَمَرَّقَ شَعْرُهَا أَفَأَصِلُهُ، فَقَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

Dari Asma` binti Abu Bakr ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, sungguh saya punya anak perempuan yang baru menikah. Dia sakit campak sehingga rambutnya rontok. Bolehkah saya menyambungnya?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Semoga Allâh melaknat wanita penyambung rambut dan wanita yang meminta rambutnya disambung.'” [HR. Muslim no. 2122]

Yang dimaksud dengan washl adalah menyambung rambut asli dengan rambut lain, seperti sanggul tambahan dari rambut asli yang umum dilakukan di negeri kita. Hadits ini menunjukkan bahwa washl haram dan termasuk dosa besar.

Di samping itu, dalam pemakaian wig dan bulu mata palsu terdapat unsur lain yang menjadikannya haram,[1] di antaranya:

Menyerupai wanita kafir (tasyabbuh), karena kebiasaan ini berasal dari mereka dan telah menjadi ciri mereka.Merubah ciptaan AllâhSebagian ahli menyebut bahwa bulu mata palsu membahayakan kelopak mata dan mengakibatkan bulu mata yang asli rontok.Pencitraan, tampil menipu dengan kecantikan yang tidak dimiliki dan senang dipuji dengan hal tersebut.Alat kecantikan ini pada umumnya dipakai di Indonesia untuk di luar rumah, bukan untuk berhias di depan suami. Dan hukum diberikan untuk kondisi yang ghalib dan jamak terjadi.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa pemakaian bulu mata palsu tidak termasuk washl. Namun jika unsur haram yang satu ini tidak ada padanya, pemakaian bulu mata palsu tidak lepas dari salah satu unsur yang telah disebutkan di atas, di mana sebagiannya cukup untuk jadi landasan dalam mengharamkannya. Apalagi jika semua unsur ini terkumpul menjadi satu.

Selengkapnya dijabarkan secara jelas hukum orang yang bekerja dipabrik tersebut. Dengan demikian, tidak boleh menjual wig dan bulu mata palsu, atau bekerja di pabrik yang memproduksinya.[2] Hal itu merupakan bentuk kerja sama dalam dosa dan maksiat. Tinggalkanlah karena Allâh Azza wa Jalla , niscaya Allâh Azza wa Jalla akan ganti dengan pekerjaan yang lebih baik dan rejeki yang tidak disangka-sangka.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Dan siapa yang bertaqwa kepada Allâh, Allâh akan berikan jalan keluar untuknya dan memberinya rejeki dari tempat yang tidak dia duga. [Ath-Thalâq/65:2-3]

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sungguh engkau tidak akan meninggalkan sesuatu karena Allâh, kecuali Allâh akan gantikan dengan yang lebih baik untukmu.” [HR. Ahmad no. 23.074, dihukumi shahih oleh al-Albani dan al-Arna`uth]

Nah siapa yang bekerja di pabrik wig dan rambut palsu? Purbalingga merupakan sentra industri wig dan bulu mata palsu. Industri ini menghidupi ribuan warga Purbalingga yang menjadi karyawannya. Bukan hanya itu saja, ada ribuan perempuan lain di Purbalingga yang menggerakkan roda usaha bulu mata, baik skala rumahan maupun pabrik. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga mencatat, ada 33 industri bulu mata palsu di Purbalingga dengan 18 industri di antaranya adalah usaha penanaman modal asing. Ini ditambah ratusan plasma yang bekerja sama dengan industri besar. Tidak kurang 50.000 tenaga kerja lokal terserap ke sektor ini (Bulu Mata Purbalingga Menyihir Dunia, 2014).

Nah loh....50.000 tenaga kerja itu jumlah yang banyak sekali. Hasil kerja dari 50.000 itu dipakai oleh artis papan atas dunia atau bintang pop dunia seperti Madonna dan Katy Perry. Begitu juga mata Olga Lydia dan gadis-gadis Cherrybelle. Banyak produsen kecantikan dunia juga menggunakan produk yang dihasilkan tangan-tangan cekatan perempuan Purbalingga, di antaranya L’Oréal, Shu Uemura, MAC, Kiss, Make Up For Ever, dan Maybelline.


Industri bulu mata di Purbalingga disebut-sebut hanya kalah besar dari industri sejenis di Guangzhou, Tiongkok. 10 juta pasang bulu mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia, seperti tercatat pada 2010. Nilai ekspornya pada tahun itu mencapai Rp 851,01 miliar. Kebutuhan pasar luar negeri sangat besar karena penggunaan bulu mata di sana menjadi kebutuhan sehari-hari (Bulu Mata Purbalingga Menyihir Dunia, 2014). (*)

DAFTAR PUSTAKA

Bulu Mata Purbalingga Menyihir Dunia (2014, 2 Juni). Kompas.comhttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/02/1518008/Bulu.Mata.Purbalingga.Menyihir.Dunia

Hukum Bekerja di Pabrik Wig dan yang Semisalnya (2014). As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014. Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqomah. Diakes dari https://almanhaj.or.id/4503-hukum-bekerja-di-pabrik-wig-dan-yang-semisalnya.html


Jumat, 02 Juni 2017

Keberagaman di Dunia Pendidikan

“Harus  diingat  bahwa  kodrat  bangsa  lndonesia  adalah keberagaman.  Takdir  Tuhan untuk kita adalah  keberagaman. Dari Sabang  sampai  Merauke adalah  keberagaman.  Dari Miangas  sampai  Rote adalah juga  keberagaman.  Berbagai etnis,  bahasa,  adat  istiadat, agama,  kepercayaan  dan golongan  bersatu padu  membentuk  lndonesia.  ltulah  kebhinneka tunggal  ika-an  kita”

Itulah sepenggal pidato Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada Upacara dalam rangka Hari Lahir Pancasila Kamis, 1 Juni 2017. Sambutan tersebut dibacakan oleh seluruh Pemimpin Upacara yang diselenggarakan di seluruh Indonesia. Baik oleh Gubernur, Bupati, Walikota, pimpinan perusahaan BUMN maupun swasta.
Dari penggalan satu alinea pidato Presiden diatas, hal yang menarik yakni Presiden mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah keberagaman. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan keberagaman untuk bangsa Indonesia. Keberagaman tersebut tergambarkan di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas  sampai  Rote adalah juga  keberagaman.  Berbagai etnis,  bahasa, adat  istiadat, agama,  kepercayaan  dan golongan  bersatu padu  membentuk  lndonesia. Hal itu disebut Presiden sebagai kebhinneka tunggal ika bangsa Indonesia. “Itulah  kebhinneka tunggal  ika-an  kita,” tegas Presiden.
Pernyataan Presiden yang selalu mengingatkan rakyat Indonesia bukan lain karena kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang “gaduh”. Namun Presiden tidak menyebutkan secara ekplisit dalam pidatonya, Presiden menyebut hal tersebut sebagai “tantangan “, bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia sedang diuji. Presiden menyebut bahwa saat ini ada pandangan dan tindakan yang mengancam kebhinekaan dan keikaan bangsa Indonesia. Bahkan saat ini ada sikap tidak toleran yang mengusung ideologi selain Pancasila. Lebih parah lagi, sebut Presiden, masalah yang tersebut diperparah dengan penyalahgunaan media sosial yang banyak menggaungkan hoax alias kabar bohong.
Untuk itu Presiden mengajak masyarakat Indonesia untuk perlu  belajar  dari pengalaman buruk  negara  lain yang  dihantui  oleh  radikalisme,  konflik  sosial,  terorisme  dan perang saudara.  Sebab bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila dan  UUD  1945 dalam bingkai NKRI dan  Bhinneka  Tunggal  lka,  dapat terhindar dari  masalah  yang menjerat bangsa lain yang kini dilanda peperangan.  Bangsa Indonesia kini disyukuri hidup  rukun  dan  bergotong royong bersama-sama membangun negeri.
Disebutkan Presiden, bahwa dengan Pancasila lah, lndonesia  adalah  harapan  dan  rujukan masyarakat internasional  untuk  membangun  dunia  yang  damai,  adil dan makmur  di tengah  kemajemukan.
Sehingga Presiden mengajak peran aktif seluruh komponen masyarakat, mulai dari para ulama, ustadz,  pendeta,  pastor,  bhiksu,  pedanda,  tokoh  masyarakat, pendidik,  pelaku seni  dan budaya,  pelaku media,  jajaran birokrasi,  TNI  dan  Polri  serta lainnya untuk  menjaga Pancasila. Presiden meminta pemahaman  dan  pengamalan Pancasila  dalam  bermasyarakat, berbangsa  dan  bernegara harus terus  ditingkatkan. Mulai dari ceramah keagamaan, materi pendidikan,  fokus pemberitaan  dan perdebatan  di media sosial  harus menjadi  bagian  dalam  pendalaman  dan pengamalan nilai-nilai  Pancasila.

Politik di Dunia Pendidikan
Apa yang disampaikan presiden melalui pidatonya bahwa semua komponen masyarakat untuk menjaga Pancasila salah satunya dimulai dari materi pendidikan tentu upaya yang baik. Karena dunia pendidikan merupakan awal dimulainya generasi-generasi bangsa dalam berkecimpung di dunia politik. Demokrasi di dunia pendidikan tergambarkan dalam pelaksanaan pemilihan-pemilihan ketua suatu organisasi-organisasi kesiswaan. Organisasi yang terkenal di sekolah adalah Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Disanalah para siswa belajar berdemokrasi layaknya pemilihan-pemilihan pemimpin di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan pemilihan presiden melalui pemilihan umum (pemilu).
Pemilihan ketua OSIS sebagai salah satu cara pengembangan budaya atau nilai demokrasi yaitu melalui proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan pada diri peserta didik berupa pengetahuan, kesadaran, sikap, keterampilan dan kemauan, serta kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Kajian yang dilakukan oleh Cahyono, Sudarmanto, Sinaga (2014), menyebutkan bahwa pelaksanaan demkorasi berjalan dengan baik karena dilaksanakannya kultur atau nilai-nilai demokrasi pada OSIS. Yakni toleransi, kebebasan berpendapat, keterbukaan, komunikasi, saling menghargai dan kebersamaan. Pengembangan budaya demokrasi pada OSIS didukung adanya sikap saling menghargai perbedaan, guru yang mengajarkan sikap toleransi, sikap percaya diri siswa dalam berpendapat, disiplin,  loyalitas pada  organisasi,  saling  percaydan  menyadari kepentingan bersama. Sementara hambatan dalam pengembangan budaya demokrasi adalah tidak percaya diri dalam menyampaikan pendapat pada diri siswa, sikap otoriter dan arogan dari pihak sekolah, sikap tidak mau menerima pendapat orang lain serta sikap merasa luar biasa dibanding teman-temannya.
Namun Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Kemendikbud, ada potensi intoleransi terjadi di sekolah. Ada 8,2 persen yang menolak Ketua OSIS dengan agama yang berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen yang merasa nyaman dipimpin oleh seseorang yang satu agama. Meski demikian, ternyata mayoritas masih menjunjung tinggi nilai toleransi dengan menghargai adanya perbedaan agama maupun etnis di lingkungan sekolah (Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah, 2017).
Kekhawatiran tersebut memang belum terjadi. Namun dengan adanya 8,2 persen siswa di dua kota yakni Salatiga dan Singkawang tersebut memberikan potensi terhadap peningkatan jumlah siswa yang akan mungkin mengambil opsi yang sama. Sebab, penelitian baru dilakukan di dua kota di Indonesia, belum seluruh kota di Indonesia yang dilaksanakan penelitian tersebut. Apalagi saat ini usai dilaksanakannya Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Hasil putaran pertama sesuai rekapitulasi KPUD Jakarta yakni, Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni mendapatkan suara 937.950 dengan presentasi 17,02 %, pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 2.364577 dengan presentase 42,99 %, sedangkan pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno memperoleh 2.197.33 dengan presentase 39,95 % (Ini Hasil Pilgub DKI Putaran Pertama, 2017).
Pada putaran pertama, belum ada pasangan yang belum memperoleh suara lebih dari 50+1 persen. Sehingga kemudian dilaksanakan putaran kedua dilaksanakan pada tanggal 19 April yang diikuti oleh pasangan nomor 2 dan nomor 3 dan kemudian dimenangkan oleh pasangan nomor 3.
Pilkada DKI Jakarta diwarnai isu tak sedap. Mulai dari isu penistaan agama oleh salah satu calon gubernur, hingga black campaign (Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Diwarnai Black Campaign, 2017). Bahkan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu calon berakhir dengan putusan 2 tahun hukuman oleh pengadilan.
 Oleh karena itu apakah ekses Pilkada DKI Jakarta terbawa eksesnya sampai ke celah ruang di sekolah dalam berbagai pembelajaran demokrasi di sekolahan? Agar hal tersebut tidak terjadi bagaimana upaya yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat dan pemerintah agar ekses Pilkada tidak merambat ke sekolahan.

Pelajaran Pendidikan Pancasila
Menurut Zamroni (2001: 65) dalam kajian yang dilaksanakan oleh Cahyono dkk (2014), menyebut kultur dan nilai demokrasi meliputi; (1) toleransi, (2) kebebasan mengemukakan pendapat, (3) menghormati perbedaan pendapat, (4) memahami keanekaragaman, (5) terbuka dan komunikasi, (6)  menjunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaan, (7) percaya diri, (8) tidak menggantungkan pada  orang  lain,  (9)  saling  menghargai,  (10)  mampu  mengekang  diri,  (11) kebersamaan, (12) keseimbangangan.
Berdasarkan  teori  yang  disampaikan  Zamroni,  Cahyono dkk meneliti  lima indikator berkaitan dengan budaya demokrasi pada OSIS yang meliputi; (1) sikap toleransi dan keanekaragaman dalam OSIS, (2) kebebasan berpendapat dalam OSIS, (3) keterbukaan dan komunikasi dalam OSIS, (4) menghargai persamaan derajat   dalam  OSIS,  (5)  kebersamaan  dalam  OSIS. 
Budaya demokrasi yang dilaksanakan oleh OSIS dapat dilihat dalam pelaksanaan nilai-nilai demokrasi meliputi (1) sikap toleransi dalam keanekaragaman yang terlihat  dari  sikap  saling  menghargai  adanya  perbedaan  agama,  suku  dan pendapat. Sikap toleransi juga terlihat dalam pembagian tugas tidak membedakan agama, suku dan gender yang menjadi dasarnya adalah kecakapan dan kemampuan; (2) Kebebasan berpendapat  dalam OSIS telah dilaksanakan baik oleh pengurus maupun pembina OSIS atau pihak sekolah. Kebebasan menyampaikan pendapat dilaksanakan dalam kegiatan rapat-rapat dan diluar rapat siswa diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatntya; (3) keterbukaan dan komunikasi  dalam  OSIS  terlihat  dari  perilaku  pengurus,  pembina  dan  wakil kepala sekolah yang selalu terbuka dan menjalin komunikasi. Keterbukaan terlihat dari sikap pembina OSIS yang selalu menerima saran dan masukan serta ide-ide baik dari pembina maupun pengurus OSIS; (4) menghargai persamaan derajat diwujudkan dengan  sikap  dan  perilaku  menghargai dan  menghormati adanya berbagai perbedaan dalam OSIS dan bila terjadi perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan baik; (5) kebersamaan dalam OSIS diwujudkan dengan menyelesaikan tugas-tugas dan kegiatan OSIS bersama-sama.
Pelaksanaan budaya demokrasi pada OSIS tidak lepas dari peran sekolah karena keberadaan OSIS sebagai organisasi siswa di sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan sekolah    untuk mengembangkan demokrasi sesuai dengan pendapat  Zamroni (2011: 165) pendidikan memiliki peran sentral dalam upaya pengembangan demokrasi. Pendidikan yang mampu mengembangkan demokrasi adalah pendidikan yang kehidupannya memiliki roh dan spirit demokrasi yang teraktualisasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari, berarti pendidikan yang mampu mengembangkan demokrasi adalah pendidikan yang memiliki kultur sekolah demokratis.
            Sementara itu, kurikulum pendidikan sekolah waktu dulu, siswa diwajibkan untuk mengikuti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan kemudian diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan (PPKn). Namun PMP dan PPKn dalam kurikulum pendidikan saat ini tidak diajarkan kembali sejak tahun 2003. Padahal isi PMP dan PPKn mengajarkan pada toleransi dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
            Materi tersebut diminta diajarkan kembali oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan. Zulkifli  setuju pendidikan moral Pancasila diajarkan kembali di sekolah-sekolah, mulai SD hingga SMA. Para guru juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Zulkifli menyatakan hal itu saat menjawab usulan yang disampaikan oleh anggota Kaukus Politisi Perempuan Indonesia (KPPI). Usulan itu muncul dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR di ruang Ayodhia Hotel Tasneem, Jl. Brigjen Katamso, Yogjakarta (Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Perlu Diajarkan Kembali, 2016).
Dalam konteks akan diajarkan kembali PMP dan PPKn, menurut Susetiawati (2011) berpendapat bahwa pendidikan moral Pancasila (PMP) kurang relevan untuk diajarkan kembali di sekolah-sekolah, sama seperti yang terjadi selama beberapa tahun yang lalu. Apalagi, bila pendidikan Pancasila dianggap sebagai sebuah solusi, tentu akan jauh dari masalah yang sebenarnya.
Menurut Susetiawati (2011) Pancasila tetaplah merupakan dasar negara, atau dasar-dasar yang lebih bersifat politik mengenai bagaimana sebuah NKRI sebaiknya diselenggarakan. Mengapa PMP dianggap kurang relevan untuk diajarkan kembali ? Antara lain, karena (1) Pancasila bukanlah sebuah ajaran, dalam arti melingkupi sebuah sistem nilai yang berdiri sendiri, utuh dan sistematis. Jangan pernah lagi, terjebak pada klaim dan indoktrinasi yang mengatasnamakan ajaran Pancasila. (2) dalam prakteknya, apa yang terjadi selama proses belajar di sekolah, apa yang dipahami dari ajaran agama dan apa yang disaksikan dari perilaku para tokoh, justru akan jauh lebih efektif, dibandingkan hanya sekedar pelajaran moral Pancasila yang sebenarnya merupakan "duplikasi" dari pengetahuan atau ajaran yang telah ada, dan justru akan menambah beban siswa untuk menghapal.
            Dari paparan diatas, memang diperlukan upaya untuk menjaga keberagaman mulai sejak dini. Pendidikan Pancasila atau materi sejenisnya untuk diajarkan kembali di sekolah kepada siswa-siswi sebagai generai penerus bangsa. Sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam diri siswa dapat menjadi panduan dan pedoman  dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tidak ada lagi intoleran terhadap apa yang terjadi di sekolahan, khususnya pendidikan demokrasi di sekolah. Seperti pemilihan ketua OSIS di sekolah. 



DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, B., Sudarmanto, R. G., & Sinaga, R. M. (2014). BUDAYA DEMOKRASI PADA OSIS. Jurnal Studi Sosial, 2(3)


Ini Hasil Pilgub DKI Putaran Pertama (2017, 4 Maret). Okezone.com. http://news.okezone.com/read/2017/03/04/338/1634341/ini-hasil-pilgub-dki-putaran-pertama

 

Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Perlu Diajarkan Kembali ( 2016, 16 Desember). Detik.com. https://news.detik.com/berita/d-3373583/ketua-mpr-pendidikan-moral-pancasila-di-sekolah-perlu-diajarkan-kembali

Susetiawati (2011). Toleransi Berkurang, PMP Diusulkan Kembali Diajarkan. Setujukah ?. Diakses dari http://www.kompasiana.com/srie/toleransi-berkurang-pmp-diusulkan-kembali-diajarkan-etujukah_5500c0e78133110c51fa724d


Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah (2017, 2 Mei). Kompas.com. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/14210661/pilkada.dki.dikhawatirkan.timbulkan.intoleransi.di.lingkungan.sekolah

Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Diwarnai Black Campaign (2017, 1 April).  Jawapos.com. http://www.jawapos.com/read/2017/04/01/120380/putaran-kedua-pilkada-dki-jakarta-diwarnai-black-campaign

 


 

Kamis, 01 Juni 2017

Why Not Telling The Truth?

Siapa yang suka nonton infotainment? Kalau yang suka pasti tahu kabar duka dari meninggalnya artis Yana Zein karena sakit. Usai beberapa bulan dirawat di negeri tirai bambu, artis peran tersebut menghembuskan nafas terakhir di RS Mayapada, Jakarta Selatan, Kamis (1/6/2017) dini hari tadi, setelah beberapa waktu kembali ke tanah air.  Penulis ikut berdua cita yang sedalam-dalamnya.

Yana Zein harus menyerah terhadap penyakit yang diidapnya. Penyakit yang disebut Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), Linda Gumelar, sebagai jenis kanker tertinggi pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh rumah sakit di Indonesia. Pada tahun 2010, pasien kanker payudara 28,7 persen dari total penderita kanker. (Kanker Payudara Tertinggi di Indonesia, 2016).

Padahal lima hari lalu, ketika tiba di tanah air, ibu dua anak itu mengaku kesehatannya telah mulai membaik, hampir mencapai angka 80 persen. Sehingga pengobatan yang dijalani Yana selama empat bulan di Rumah Sakit Modern Guangzhou China Hospital dianggap telah sukses. Bahkan Yana mengaku telah bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda (Kanker Payudara Stadium 4 Yana Zein Sembuh 75 Persen, 2017).

Namun apa yang disampaikan Asisten Yana Zein, Nita, mengungkapkan fakta mengejutkan perihal kondisi kesehatan Yana sebelum meninggal dunia. Apa yang disampaikan Yana Zein tentang perkembangan kesehatannya, ternyata itu tidak benar.

"Iya dia bohong. Dia pengin anak-anaknya itu senang. Dia bohongin kita semua, dia pura-pura tegar. Memang enggak kelihatan dia sakit, tapi begitu nyampe ke rumah, langsung tidur. Dia bilang 'badan saya semua kesemutan'," kata Nita saat dihubungi, Kamis siang. Bahkan, lanjutnya, Yana sudah membuat skenario agar sebisa mungkin ia tampil segar dan bugar di hadapan keluarga (Mengapa Yana Zein Mengaku Sehat Sebelum Meninggal?, 2017).

Lalu apa yang dilakukan oleh Yana Zein dapat dibenarkan? Mengapa yang dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada dirinya. Penulis berpendapat apa yang dilakukan Yana Zein merupakan bentuk pencitraan dirinya, a manipulated representation that lacked substance or accuracy (Botan, 1993). Atau memungkinkan terjadi “what people said about itself, not what the people actually did”.

Citra merupakan kesan yang timbul karena pemahaman terhadap sesuatu. Citra merupakan akibat positioning diri. Pemahaman citra muncul karena adanya informasi yang ditangkap seseorang dan sebagai dampak dari komunikasi yang dilakukan. Sebab ketika kita berkomunikasi, konsekuensi yang bisa didapat bisa positif ataupun bisa negatif. Apalagi setiap orang adalah public relations atau everyone is PR on yourself. Hal tersebut menurut Kriyantono (2012) merupakan pendekatan bahwa PR sebagai teknik dan sebagai metode komunikasi.

Pemahaman mengenai kesehatan Yana Zein yang membaik itu penulis ungkapkan juga ketika diskusi yang sekaligus menjawab tantangan. Tantangan itut adalah apa yang dilakukan jika kita menjadi juru bicara atau keluarga Julia Perez (Jupe) yang juga sedang dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Apa yang akan kita katakan mengenai keadaan penyanyi “Belah Duren” tersebut kepada awak media atau wartawan. Apakah blak-blakan jujur mengatakan yang sebenarnya atau menutup-nutupi keadaan mantan kekasih Gaston Castano itu.

Hal yang ada didalam pikiran kita biasanya menutupi apa yang terjadi. Biasanya juru bicara atau keluarga menyebut bahwa sang artis saat ini kondisinya alhamdulillah sudah mengalami perkembangan, sang artis sudah bisa makan, tim dokter sedang berupaya yang terbaik dan bekerja keras agar artis tersebut cepat sembuh, dan berterima kasih kepada masyarakat Indonesia atas perhatian yang diberikan. Kemudian meminta doa  dan dukungan untuk memotivasi sang artis agar segera diberikan kesembuhan.   

Padahal keadaan sang artis mungkin sedang tergolek lemah, keadaannya semakin melemah dan semangatnya menurun. Namun hal tersebut tidak kita katakan. Sebab jika dikatakan perasaan kita sepertinya tidak menghargai perasaan sang artis yang sedang sakit. Hal tersebut juga sebagai pendorong semangat dan optimis akan kesembuhan sang artis. Meksipun apa yang diungkapkan merupakan harapan-harapan kita sebagai juru bicara, bukan ungkapan yang disampaikan langsung sang artis. Karena jika dikatakan yang sesungguhnya tentu bertentangan dengan etika dan hati kecil kita.

Hal yang sama mungkin dikatakan oleh pengacara. Padahal pengacara harus mengatakan hal yang benar dan sesuai fakta ketika dia profesional. Namun biasanya pengacara yang ditunjuk mengatakan hal yang hanya perlu dikatakan  dan menghindar mengatakan sesuatu meskipun sesuatu hal tersebut  memang benar-benar terjadi. Ini yang disebut dilema (Wulandari, 2017).

Pernah juga hal yang sama terjadi terhadap seorang artis yang meninggal dunia karena sakit. Pihak keluarga tak pernah mengatakan yang sebenarnya ketika ia dirawat di negeri singa. Bahkan kepada teman-teman Almarhum Olga Syahputra sendiri. Bahkan sampai saat ini publik masih menyimpan tanda tanya apa yang terjadi kepada Alm. Olga Syahputra. (*)


Jumat, 10 Maret 2017

Ki Wandi: Doa Kejawen Sebagai Doa Multikultural

Wilayah Metropolitan Malang Raya menawarkan sejuta keindahan alam. Banyak tempat wisata alam maupun buatan yang populer sehingga menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Kawasan metropolitan kedua di Jawa Timur setelah Gerbangkertosusilo ini juga memiliki aset sosial budaya yang beragam.


Keberagaman budaya yang ditampilkan oleh masyarakat Malang Raya dalam harmoni yang indah, justru semakin mempercantik dan memperkaya keindahan alam yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Meskipun masyarakat Malang Raya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Baik adat istiadat, agama, kepercayaan namun budaya tersebut masih dipertahankan sejak nenek moyang hingga sekarang. Wujud budaya itu, salah satunya adalah Kejawen.

Kejawen sebagai wujud budaya dalam masyarakat Jawa menurut Kuncaraningrat (2009) terdiri dari ide, tindakan, dan artefak atau benda-benda hasil karya manusia. Kejawen merupakan sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa. Secara hakikat, Kejawen merupakan filsafat yang keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama:  Tiyang Jawi) itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa,  dalam bahasa Indonesia berarti "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.

Sementara menurut Santoso (2015), Kejawen dalam pandangan umum masyarakat tak lekang dari manifestasi seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Hingga Kejawen juga memiliki arti sebagai aliran spiritual atau sisi spiritual suku Jawa. Apa yang dilakukan oleh pelaku spritual Kejawen agar memenuhi kadar spiritual Kejawen?

Santoso menyebut ada dua tindakan atau laku atau olah spiritual utama yang harus dilakukan oleh pelestari Kejawen. Yakni pasa (berpuasa) dan tapa (bertapa). Tapa mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan kata semedi. Ritual-ritual juga tetap dilaksanakan, diamalkan dan dipelihara secara turun termurun sekalipun di masyarakat Jawa kini telah menganut agama-agama dan kepercayaan yang berbeda dengan nenek moyang mereka pada dahulu kala. Seperti ritual-ritual dan kepercayaan terhadap roh serta wali keramat maupun benda-benda magis, masih tetap mengakar dalam laku keseharian mereka. 

Demikian juga saat melakukan upacara atau ritual di berbagai tempat di golongkan sebagai suatu tindakan religius dan merupakan bagian dari suatu kebudayaan bagi para pelaku Kejawen. Sebagai sebuah tindakan religius, kegiatan dan ritual tertentu pada prinsipnya merupakan upaya manusia dalam mencari hubungan atau berkomunikasi dengan Tuhan, dewa-dewi, ataupun makhluk-makluk yang menghuni alam gaib. Kegiatan manusia tersebut sudah tentu dilandasi dan didorong oleh adanya emosi keagamaan (relegious emotion), sebuah getaran spiritual yang dipercaya menggerakkan jiwa manusia

Komunikasi Transendental
Dilihat dari perspektif Ilmu Komunikasi, upaya menjalin hubungan yang dilakukan pelaku Kejawen tersebut dengan menyampaikan pesan berupa doa atau mantra dikenal sebagai komunikasi transendental. Mantra adalah kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979). Sebagian orang percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham atau wangsit dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan ataupun teks menurut bahasa di mana mantra itu berada.
                                                                                   
Sementara menurut Deddy Mulyana, meskipun komunikasi yang disebut komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan, akan tetapi bentuk komunikasi seperti inilah yang terpenting bagi manusia. Sebab keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, manusia berhasil atau tidak dalam berhubungan dengan Tuhan atau bagaimana ia bisa menempati surga di akhirat, tergantung pada strategi pendekatan yang dilakukannya.

Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Hayat Padje, bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi dengan sesuatu yang bersifat “gaib”, termasuk komunikasi dengan Tuhan. Gaib di sini, sama halnya dengan pendapat Indrajati, adalah hal-hal yang sifatnya supranatural, adikodrati, suatu realitas yang melampaui kenyataan duniawi semata.

Wujud hal gaib yang dimaksudkan dalam agama modern yang disebut “Tuhan “ atau “Allah” atau nama lain yang sejalan dengan pengertian itu.  Keterbukaan kepada hal gaib merupakan keterbukaan kepada kebaikan, kepada hal yang positif dan terpuji. Kepercayaan kepada hal gaib adalah kepercayaan manusia mengenai adanya suatu kuasa yang ada dalam hidup dan kehidupannya, melebihi kekuatan dunia ini yang mempengaruhi hidupnya.

Doa Multikultural
Salah seorang pelaku ajaran Kejawen di Malang Raya, Ki Wandi, menyatakan doa atau mantra yang diungkapkan dengan menggunakan Kejawen, mulai dari tata cara dan bahasa yang digunakan yakni bahasa sastra Kawi yang kuna makuna (kuno). Ki Wandi mengatakan hal tersebut usai memimpin doa saat pembukaan kegiatan Budaya dan Arak Tumpeng Ageng Arjuno pada Artjuno Fest di UB Forest Kawasan Lereng Gunung Arjuno, Bonowarih, Karangploso, Kabupaten Malang dalam rangka Dies Natalis ke-54 Universitas Brawijaya Sabtu, 6 Januari 2017 lalu.

Menurut Ki Wandi, doa yang dipanjatkannya merupakan doa yang dapat mengatasi perbedaan agama maupun kepercayaan yang dianut masyarakat saat ini. Sebab, subtansi doa tidak hanya dipandang sempit tetapi juga mencerminkan kebhinekaan Indonesia yang bersifat sosio-spiritual.

Sosio-spiritual digambarkan dengan adanya kesadaran akan Sang Pencipta tumbuh sumbur di kalangan pemeluknya karena ladang-ladang agama dipupuk dan dipelihara oleh negara. Sehingga frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kearifan dalam merengkuh dan merangkul keanekaragaman agama-agama dan kepercayaan (Baidhawy, 2016).

Pemimpin Padepokan Gunung Ukir (PGU) di lereng Gunung Wukir itu menyatakan saat prosesi doa, yang hadir di tempat tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan pemeluk tujuh agama dan kepercayaan. Yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan kepercayaan. Sehingga doa yang digunakan cukup satu yakni mantra atau doa dengan menggunakan bahasa sastra Kawi yang kuna makuna. Bahasa yang digunakan saat zaman masih berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Inti doa yang dilantunkan selain sebagai permintaan keselamatan juga sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan doa tersebut diharapkan masing-masing penganut agama yang hadir tidak “tersinggung”. Apalagi doa kuna  makuna sudah ada sebelum agama-agama “modern” hadir di Nusantara. Ki Wandi mengingatkan bahwa kita hidup di dunia jangan sampai dicampuradukan pada agama, sebab agama itu lakum dinukum wa liyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku). Akan tetapi sebagai manusia diwajibkan menghormati adat istiadat dimana kita berada, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.   

Pesan lain yang ingin disampaikan oleh Ki Wandi bahwa manungsa aja lali nang kawitane (manusia jangan lupa dengan dahulunya). Sebab dalam berdoa, para pendahulu melaksanakannya dengan tata cara seperti itu. Hingga sampai sekarang pun dikenang, dicari, digali kembali dan diharapkan dapat dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Indonesia. Bahkan melalui seni dan budaya, Ki Wandi meyakini unsurnya dapat menggaet dan menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam sebuah bingkai kerukunan, yakni kerukunan bangsa Indonesia. (*)





Guru Asing di Kelas Kursus Bahasa Asing

Diterbitkan di Rubrik Opini Harian Radar Tegal, 02 November 2016

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665560057685&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665501296216&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) RI melalui Kantor Imigrasi Kelas II Pemalang terpaksa menahan paspor salah seorang warga asing (WNA) asal Beijing, Republik Rakyat Cina (RRC) pada Kamis, 27 Oktober 2016. WNA itu diduga menyalahi ijin tinggal, sebab pada Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) tertera kode pelajar. Namun yang bersangkutan bekerja pada lembaga kursus bahasa Mandarin di Jl. A. Yani Kota Tegal. Imigrasi menangkap perempuan itu setelah dua bulan melakukan pengamatan.

Selain itu, berbagai kejanggalan ditemukan ketika petugas Imigrasi meneliti dokumen milik WNA yang ijin tinggalnya di Jakarta, tetapi saat ditangkap ia sedang berada di Kota Tegal. Sementara sponsor WNA tersebut juga tidak melaporkan kepada Imigrasi. Pihak Imigrasi mengancam mendeportasi WNA tersebut jika ditemukan bukti pelanggaran selama dua bulan terakhir. (Radar Tegal/Jawapos.com, 28 Oktober 2016).


Lain lagi ceritanya di Kota Cirebon. Pada malam di hari yang sama, petugas Imigrasi Kelas II Cirebon melaksanakan operasi pemeriksaan rutin dengan sasaran orang asing yang menyalahgunakan izin tinggal. Diketahui ada seorang WNA diduga bekerja di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di Jalan Perjuangan Kota Cirebon. Sebab ketika dilakukan operasi, WNA tersebut sedang melakukan proses pembelajaran kepada ketiga murid yang baru mengikuti kursus. Ketiga murid tersebut mengatakan sedang mengikuti placement test karena hari itu adalah hari pertama mereka mulai kursus. (radarcirebon.com, Jumat, 28 Oktober 2016).

Fenomena banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia tidak dapat dielakan. Apalagi sejak diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Bahkan berhembus isu santer mengenai banjirnya pekerja asing asal Tiongkok sebanyak 10 juta pekerja. Namun isu tersebut telah dibantah oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). 

Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenaker Hery Sudarmanto, menyatakan pekerja asing asal Tiongkok, sebagaimana halnya pekerja asing dari negara lain, mengalami fluktuasi tiap tahun, kadang naik kadang turun dengan rata-rata berkisar 14-16 ribu dalam periode satu tahun atau sekitar 20-22 persen dari total 70-an ribu pekerja asing di Indonesia. Seluruh jumlah tenaga kerja asing itu sekitar 0,027 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta, atau sekitar 0,05 persen jika dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia tahun 2016 sebesar 128 juta (jppn.com, 04 Agustus 2016).

Guru Asing di Lembaga Kursus Bahasa

Banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat dibidang ketenagakerjaan.  Dampaknya bukan hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial-budaya.

Di bidang ekonomi, Lembaga kursus bahasa asing yang mendatangkan native speaker teacher (guru asing) bertujuan untuk menaikan prestise, agar lebih populer, memenangkan persaingan, menarik minat peserta kursus untuk belajar di lembaga tersebut. Tentunya tenaga asing yang mengajar harus telah memiliki izin untuk mengajar di suatu perusahaan atau lembaga pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Sementara di bidang sosial, terjadi pertemuan, interaksi dan komunikasi antar orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda di Lembaga kursus bahasa asing. Demikian pula terjadi komunikasi antarbudaya di dalam satu kelas ketika murid-murid diajar oleh seorang guru asing. Sehingga beberapa peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam. Sebab dalam proses pengajaran bahasa asing melibatkan dua budaya yang memiliki kekhasan masing-masing.

Dalam tulisan ini penulis tidak menyoroti tentang kasus pelanggaran administrasi yang harus dipenuhi oleh WNA yang diduga bekerja sebagai tenaga pengajar. Namun penulis fokus pada strategi yang tepat dilakukan oleh guru asing dan peserta kursus agar komunikasi yang efektif dapat terbangun dengan baik, saat terjadi proses belajar mengajar atau transfering knowledge di sebuah kelas Lembaga Kursus Bahasa Asing. Sebab, saat guru asing mengajar kepada murid-muridnya, komunikasi yang berlangsung pasti tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan mengupas beberapa penelitian yang terdahulu dapat diketahui apa strategi guru asing dan peserta kursus untuk dapat mengajar maupun belajar bahasa asing lebih efektif.

Komunikasi Antarbudaya

Asumsi dasar yang dikembangkan adalah bahwa interaksi kultural umumnya terjadi bersamaan, jika tidak bermula dari kontak dua bahasa berbeda yang melahirkan terminologi bahasa asli (native) dan bahasa asing (foreign). Kontak dua bahasa atau lebih tidak jarang melahirkan ‘persaingan’ atau pengaruh, untuk alasan apa pun, yang pada gilirannya mencetuskan upaya pemertahanan bahasa. (Dedi Irwansyah. 2013).

Sementara menurut Amia Luthfia (2013), saat kedua pihak berkomunikasi ada yang menyiratkan tatapan mata ketidakpahaman, senyuman yang dipaksakan, gumaman komentar dalam bahasa yang tidak jelas akibat tidak dipahaminya kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya terkadang tanpa disadari, pihak lain juga membuat orang lain bingung dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan aksen bicara.

Disebutkan Mitchel (2001) dalam Amia Luthfia (2013), orang-orang dengan budaya yang berbeda memproses informasi dengan cara yang berbeda, menilai perlakuan secara berbeda dan mengukur konsep waktu dan ruang dalam pola yang berbeda pula. Kepekaan atas perbedaan budaya bisa menjelma menjadi  masalah serius.

Dari pendapat tersebut komunikasi antarbudaya jika tidak dipelajari dan dimengerti oleh pihak yang terlibat sebagai partisipan komunikasi dapat mengakibatkan masalah serius. Misalnya terjadi hambatan komunikasi, kesalahpahaman, perbedaan persepsi dan lain sebagainya.

Malista Pauline Christy (2013) mengatakan kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya dan hambatan komunikasi pun berpotensi muncul saat mereka bertemu dan melakukan proses komunikasi. Dari hasil penelitian Malista Pauline Christy pada tahun 2016 yang berjudul “Hambatan Komunikasi Antarbudaya antara Dosen Native Asal China dengan Mahasiswa Indonesia Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra Surabaya”, hambatan yang dialami oleh dosen native asal China antara lain hambatan nilai agama dan worldview, hambatan persepsi (sikap) terhadap latar belakang budaya pendidikan serta hambatan keterampilan verbal. Latar belakang budaya pendidikan meliputi gaya pembelajaran relasional gaya motivasi budaya.

Sedangkan dari pihak mahasiswa Indonesia mengalami hambatan komunikasi yang disebabkan keterampilan bahasa dan perbedaan latar belakang agama dan worldview. Hambatan keterampilan bahasa maupun hambatan aksen mahasiswa Indonesia memengaruhi mereka dalam menyandi pesan dalam bahasa Mandarin menyebabkan persepsi oleh dosen native asal China yang tidak sesuai dengan pesan yang dikehendaki oleh mahasiswa.

Padahal mahasiswa Indonesia yang diteliti oleh Malista beretnis Tionghoa yang memiliki persamaan kultural dengan dosen native asal China. Mereka selaku etnis Tionghoa tidak hanya menerima nilai-nilai yang berlaku di Indonesia, tetapi juga nilai-nilai selaku etnis Tionghoa. Nilai ke-Tionghoaan tersebut berasal dari leluhur mereka yang berasal dari daratan China. Meski demikian, terjadi Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian sering terjadi dalam proses belajar mengajar. Seperti berupa kesalahmengertian oleh dosen native asal China terhadap apa yang dikomunikasikan oleh mahasiswa, maupun kebingungan atau bahkan ketidakmengertian mahasiswa terhadap apa yang dikomunikasikan oleh dosen native. Dalam proses komunikasi antarbudaya, para partisipan komunikasi juga berada dalam situasi tertentu pula yang juga mempengaruhi bagaimana mereka melakukan penyandian dan penyandian balik pesan (Ting-Toomey. 2005, p.43).

Hal yang sama juga bisa diterapkan ketika seorang WNA asal Tiongkok yang menjadi tenaga pengajar di Lembaga Kursus Bahasa Mandarin di Kota Tegal. Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian dalam proses belajar mengajar pasti sering terjadi. Apalagi peserta kursus bahasa Mandarin bukan hanya keturunan Tionghia yang memiliki leluhur yang berasal dari China sehingga mereka mendapat penanaman nilai selaku etnis Tionghoa serta nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Peserta kursus juga terdapat orang yang tidak “mengenal” budaya China secara mendalam.

Pendidikan Mulitikultural

Untuk itu dalam dunia pendidikan, diperlukan pemahaman tentang pendidikan multikultural. Agar ketika berada disituasi beda budaya, masyarakat mampu mengatasi hambatan komunikasi. Gibson (dalam Hernandez, 2001) dalam Setya Raharja (2006) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan, mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem kebudayaan sendiri.

Tilaar (2002), mengatakan pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dari apa yang dikemukakan di atas, pada dasarnya dapat dimaknai bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan perbedaan atau keragaman budaya anak didik yang dipengaruhi oleh budaya etnis (kedaerahan), status sosial ekonomi (kelas sosial), gaya hidup kota-desa (way of life), agama, dan keahlian (Soerjono Soekanto, 1990: 206).

Agar berhasil baik, bentuk implementasi pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kriteria atau standar tertentu. Seeberg dan Minick dalam Dedi Irwansyah (2013), pernah membuat empat standar kompetensi lintas budaya, yaitu: (a) penguatan kesadaran kultural; (b) kontak positif antarkelompok melalui upaya untuk meminimalisir syakprasangka antarkelompok; (c) penerimaan, penghormatan (respect), dan apresiasi terhadap individu yang memiliki budaya berbeda; dan (d) perspektik anti-rasis, anti disparitas gender, anti imperialis dan pro aksi keadilan sosial.

Keempat standar tersebut dapat saja dirangkum ke dalam sebuah mata pelajaran atau disisipkan ke dalam pelajaran-pelajaran yang sesuai. Menurut Dedi Irwansyah, pengajaran bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris, bahasa Mandarin memiliki peluang yang besar untuk menanamkan kesadaran lintas budaya sekaligus mengaplikasikan standar pendidikan multikultural yang ditetapkan sebelumnya. (*)