“Harus diingat bahwa kodrat
bangsa lndonesia adalah keberagaman. Takdir Tuhan
untuk kita adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke
adalah keberagaman. Dari Miangas sampai Rote adalah
juga keberagaman. Berbagai etnis, bahasa, adat istiadat,
agama, kepercayaan dan golongan bersatu padu membentuk
lndonesia. ltulah kebhinneka tunggal ika-an kita”
Itulah sepenggal pidato Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo pada Upacara dalam rangka Hari Lahir Pancasila Kamis, 1 Juni 2017.
Sambutan tersebut dibacakan oleh seluruh Pemimpin Upacara yang diselenggarakan
di seluruh Indonesia. Baik oleh Gubernur, Bupati, Walikota, pimpinan perusahaan
BUMN maupun swasta.
Dari penggalan satu alinea pidato Presiden diatas, hal yang
menarik yakni Presiden mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kodrat bangsa
Indonesia adalah keberagaman. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan
keberagaman untuk bangsa Indonesia. Keberagaman tersebut tergambarkan di
seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas
sampai Rote adalah juga keberagaman. Berbagai etnis,
bahasa, adat istiadat, agama, kepercayaan dan golongan
bersatu padu membentuk lndonesia. Hal itu disebut Presiden
sebagai kebhinneka tunggal ika bangsa Indonesia. “Itulah kebhinneka
tunggal ika-an kita,” tegas Presiden.
Pernyataan Presiden yang selalu mengingatkan rakyat
Indonesia bukan lain karena kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang “gaduh”.
Namun Presiden tidak menyebutkan secara ekplisit dalam pidatonya, Presiden
menyebut hal tersebut sebagai “tantangan “, bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia
sedang diuji. Presiden menyebut bahwa saat ini ada pandangan dan tindakan yang
mengancam kebhinekaan dan keikaan bangsa Indonesia. Bahkan saat ini ada sikap
tidak toleran yang mengusung ideologi selain Pancasila. Lebih parah lagi, sebut
Presiden, masalah yang tersebut diperparah dengan penyalahgunaan media sosial
yang banyak menggaungkan hoax alias kabar bohong.
Untuk itu Presiden
mengajak masyarakat Indonesia untuk perlu belajar dari pengalaman
buruk negara lain yang dihantui oleh radikalisme,
konflik sosial, terorisme dan perang saudara. Sebab
bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai
NKRI dan Bhinneka Tunggal lka, dapat terhindar dari
masalah yang menjerat bangsa lain yang kini dilanda peperangan.
Bangsa Indonesia kini disyukuri hidup rukun dan
bergotong royong bersama-sama membangun negeri.
Disebutkan Presiden,
bahwa dengan Pancasila lah, lndonesia adalah harapan dan
rujukan masyarakat internasional untuk membangun dunia
yang damai, adil dan makmur di tengah
kemajemukan.
Sehingga Presiden
mengajak peran aktif seluruh komponen masyarakat, mulai dari para ulama,
ustadz, pendeta, pastor, bhiksu, pedanda, tokoh
masyarakat, pendidik, pelaku seni dan budaya, pelaku
media, jajaran birokrasi, TNI dan Polri serta lainnya untuk menjaga Pancasila. Presiden
meminta pemahaman dan pengamalan Pancasila dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus terus
ditingkatkan. Mulai dari ceramah keagamaan, materi pendidikan,
fokus pemberitaan dan perdebatan di media sosial harus
menjadi bagian dalam pendalaman dan pengamalan
nilai-nilai Pancasila.
Politik
di Dunia Pendidikan
Apa yang disampaikan presiden melalui pidatonya bahwa
semua komponen masyarakat untuk menjaga Pancasila salah satunya dimulai dari
materi pendidikan tentu upaya yang baik. Karena dunia pendidikan merupakan awal
dimulainya generasi-generasi bangsa dalam berkecimpung di dunia politik.
Demokrasi di dunia pendidikan tergambarkan dalam pelaksanaan
pemilihan-pemilihan ketua suatu organisasi-organisasi kesiswaan. Organisasi yang
terkenal di sekolah adalah Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Disanalah
para siswa belajar berdemokrasi layaknya pemilihan-pemilihan pemimpin di
tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan pemilihan presiden melalui pemilihan
umum (pemilu).
Pemilihan ketua OSIS sebagai salah satu cara pengembangan budaya atau nilai demokrasi yaitu melalui proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan
pada diri peserta didik berupa pengetahuan, kesadaran, sikap,
keterampilan dan kemauan, serta kemampuan untuk berpartisipasi
dalam proses
politik.
Kajian yang dilakukan oleh Cahyono, Sudarmanto, Sinaga (2014), menyebutkan bahwa pelaksanaan demkorasi berjalan dengan baik
karena dilaksanakannya kultur atau nilai-nilai demokrasi pada OSIS. Yakni toleransi, kebebasan berpendapat, keterbukaan,
komunikasi, saling menghargai
dan
kebersamaan. Pengembangan budaya demokrasi pada OSIS didukung adanya sikap saling menghargai
perbedaan, guru yang mengajarkan sikap toleransi, sikap percaya diri siswa dalam berpendapat,
disiplin, loyalitas pada organisasi, saling percaya dan menyadari kepentingan bersama. Sementara hambatan dalam pengembangan budaya demokrasi adalah tidak percaya diri dalam menyampaikan pendapat pada diri siswa, sikap otoriter dan arogan dari pihak sekolah, sikap tidak mau menerima pendapat orang lain serta sikap merasa luar biasa dibanding teman-temannya.
Namun Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan
berdasarkan penelitian yang dilakukan Kemendikbud, ada potensi
intoleransi terjadi di sekolah. Ada 8,2 persen yang menolak Ketua OSIS dengan
agama yang berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen yang merasa nyaman dipimpin
oleh seseorang yang satu agama. Meski demikian, ternyata mayoritas masih
menjunjung tinggi nilai toleransi dengan menghargai adanya perbedaan agama
maupun etnis di lingkungan sekolah (Pilkada DKI
Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah, 2017).
Kekhawatiran tersebut
memang belum terjadi. Namun dengan adanya 8,2 persen siswa di dua kota yakni
Salatiga dan Singkawang tersebut memberikan potensi terhadap peningkatan jumlah
siswa yang akan mungkin mengambil opsi yang sama. Sebab, penelitian baru
dilakukan di dua kota di Indonesia, belum seluruh kota di Indonesia yang
dilaksanakan penelitian tersebut. Apalagi saat ini usai dilaksanakannya Pilkada
Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan
pada tanggal 15 Februari 2017. Hasil putaran pertama sesuai rekapitulasi KPUD
Jakarta yakni, Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni mendapatkan
suara 937.950 dengan presentasi 17,02 %, pasangan Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok)- Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 2.364577 dengan presentase 42,99 %,
sedangkan pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno
memperoleh 2.197.33 dengan presentase 39,95 % (Ini Hasil Pilgub DKI Putaran
Pertama, 2017).
Pada putaran pertama, belum
ada pasangan yang belum memperoleh suara lebih dari 50+1 persen. Sehingga
kemudian dilaksanakan putaran kedua dilaksanakan pada tanggal 19 April yang
diikuti oleh pasangan nomor 2 dan nomor 3 dan kemudian dimenangkan oleh pasangan
nomor 3.
Pilkada DKI Jakarta
diwarnai isu tak sedap. Mulai dari isu penistaan agama oleh salah satu calon
gubernur, hingga black campaign (Putaran Kedua
Pilkada DKI Jakarta Diwarnai Black Campaign, 2017). Bahkan kasus penistaan
agama yang dilakukan oleh salah satu calon berakhir dengan putusan 2 tahun
hukuman oleh pengadilan.
Oleh karena itu apakah ekses Pilkada DKI
Jakarta terbawa eksesnya sampai ke celah ruang di sekolah dalam berbagai
pembelajaran demokrasi di sekolahan? Agar hal tersebut tidak terjadi bagaimana
upaya yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat dan pemerintah agar ekses
Pilkada tidak merambat ke sekolahan.
Pelajaran
Pendidikan Pancasila
Menurut Zamroni (2001:
65) dalam kajian yang dilaksanakan oleh Cahyono dkk (2014), menyebut kultur
dan nilai demokrasi meliputi; (1) toleransi, (2) kebebasan mengemukakan
pendapat, (3) menghormati perbedaan pendapat, (4) memahami keanekaragaman, (5)
terbuka dan komunikasi, (6) menjunjung
tinggi nilai dan martabat kemanusiaan, (7) percaya diri, (8) tidak
menggantungkan pada orang lain,
(9) saling menghargai,
(10) mampu mengekang
diri, (11) kebersamaan, (12)
keseimbangangan.
Berdasarkan teori
yang disampaikan Zamroni,
Cahyono dkk meneliti lima
indikator berkaitan dengan budaya demokrasi pada OSIS yang meliputi; (1) sikap
toleransi dan keanekaragaman dalam OSIS, (2) kebebasan berpendapat dalam OSIS,
(3) keterbukaan dan komunikasi dalam OSIS, (4) menghargai persamaan
derajat dalam OSIS,
(5) kebersamaan dalam
OSIS.
Budaya demokrasi yang
dilaksanakan oleh OSIS dapat dilihat dalam pelaksanaan nilai-nilai demokrasi
meliputi (1) sikap toleransi dalam keanekaragaman yang terlihat dari
sikap saling menghargai
adanya perbedaan agama,
suku dan pendapat. Sikap
toleransi juga terlihat dalam pembagian tugas tidak membedakan agama, suku dan
gender yang menjadi dasarnya adalah kecakapan dan kemampuan; (2) Kebebasan
berpendapat dalam OSIS telah
dilaksanakan baik oleh pengurus maupun pembina OSIS atau pihak sekolah.
Kebebasan menyampaikan pendapat dilaksanakan dalam kegiatan rapat-rapat dan
diluar rapat siswa diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatntya; (3)
keterbukaan dan komunikasi dalam OSIS
terlihat dari perilaku
pengurus, pembina dan
wakil kepala sekolah yang selalu terbuka dan menjalin komunikasi.
Keterbukaan terlihat dari sikap pembina OSIS yang selalu menerima saran dan
masukan serta ide-ide baik dari pembina maupun pengurus OSIS; (4) menghargai
persamaan derajat diwujudkan dengan
sikap dan perilaku
menghargai dan menghormati adanya
berbagai perbedaan dalam OSIS dan bila terjadi perbedaan pendapat dapat
diselesaikan dengan baik; (5) kebersamaan dalam OSIS diwujudkan dengan
menyelesaikan tugas-tugas dan kegiatan OSIS bersama-sama.
Pelaksanaan budaya
demokrasi pada OSIS tidak lepas dari peran sekolah karena keberadaan OSIS
sebagai organisasi siswa di sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan sekolah untuk mengembangkan demokrasi sesuai dengan
pendapat Zamroni (2011: 165) pendidikan
memiliki peran sentral dalam upaya pengembangan demokrasi. Pendidikan yang
mampu mengembangkan demokrasi adalah pendidikan yang kehidupannya memiliki roh
dan spirit demokrasi yang teraktualisasikan dalam praktek pendidikan
sehari-hari, berarti pendidikan yang mampu mengembangkan demokrasi adalah
pendidikan yang memiliki kultur sekolah demokratis.
Sementara
itu, kurikulum pendidikan sekolah waktu dulu, siswa diwajibkan untuk mengikuti
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan kemudian diganti dengan
Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan (PPKn). Namun PMP dan PPKn dalam kurikulum
pendidikan saat ini tidak diajarkan kembali sejak tahun 2003. Padahal isi PMP
dan PPKn mengajarkan pada toleransi dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara.
Materi
tersebut diminta diajarkan kembali oleh Ketua MPR Zulkifli
Hasan. Zulkifli setuju pendidikan moral
Pancasila diajarkan kembali di sekolah-sekolah, mulai SD hingga SMA. Para guru
juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Zulkifli menyatakan hal
itu saat menjawab usulan yang disampaikan oleh anggota Kaukus Politisi
Perempuan Indonesia (KPPI). Usulan itu muncul dalam acara Sosialisasi Empat
Pilar MPR di ruang Ayodhia Hotel Tasneem, Jl. Brigjen Katamso, Yogjakarta
(Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Perlu Diajarkan Kembali,
2016).
Dalam konteks akan
diajarkan kembali PMP dan PPKn, menurut Susetiawati (2011) berpendapat bahwa
pendidikan moral Pancasila (PMP) kurang relevan untuk diajarkan kembali di
sekolah-sekolah, sama seperti yang terjadi selama beberapa tahun yang lalu.
Apalagi, bila pendidikan Pancasila dianggap sebagai sebuah solusi, tentu akan
jauh dari masalah yang sebenarnya.
Menurut Susetiawati
(2011) Pancasila tetaplah merupakan dasar negara, atau dasar-dasar yang lebih
bersifat politik mengenai bagaimana sebuah NKRI sebaiknya diselenggarakan.
Mengapa PMP dianggap kurang relevan untuk diajarkan kembali ? Antara lain,
karena (1) Pancasila bukanlah sebuah ajaran, dalam arti melingkupi sebuah
sistem nilai yang berdiri sendiri, utuh dan sistematis. Jangan pernah lagi,
terjebak pada klaim dan indoktrinasi yang mengatasnamakan ajaran Pancasila. (2)
dalam prakteknya, apa yang terjadi selama proses belajar di sekolah, apa yang
dipahami dari ajaran agama dan apa yang disaksikan dari perilaku para tokoh,
justru akan jauh lebih efektif, dibandingkan hanya sekedar pelajaran moral
Pancasila yang sebenarnya merupakan "duplikasi" dari pengetahuan atau
ajaran yang telah ada, dan justru akan menambah beban siswa untuk menghapal.
Dari paparan diatas, memang diperlukan upaya untuk menjaga keberagaman mulai sejak dini. Pendidikan Pancasila atau materi sejenisnya untuk diajarkan kembali di sekolah kepada siswa-siswi sebagai generai penerus bangsa. Sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam diri siswa dapat menjadi panduan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tidak ada lagi intoleran terhadap apa yang terjadi di sekolahan, khususnya pendidikan demokrasi di sekolah. Seperti pemilihan ketua OSIS di sekolah.
Dari paparan diatas, memang diperlukan upaya untuk menjaga keberagaman mulai sejak dini. Pendidikan Pancasila atau materi sejenisnya untuk diajarkan kembali di sekolah kepada siswa-siswi sebagai generai penerus bangsa. Sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam diri siswa dapat menjadi panduan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tidak ada lagi intoleran terhadap apa yang terjadi di sekolahan, khususnya pendidikan demokrasi di sekolah. Seperti pemilihan ketua OSIS di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, B., Sudarmanto, R. G., & Sinaga,
R. M. (2014). BUDAYA DEMOKRASI PADA OSIS. Jurnal
Studi Sosial, 2(3)
Ini
Hasil Pilgub DKI Putaran Pertama (2017, 4 Maret). Okezone.com. http://news.okezone.com/read/2017/03/04/338/1634341/ini-hasil-pilgub-dki-putaran-pertama
Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di
Sekolah Perlu Diajarkan Kembali ( 2016, 16 Desember). Detik.com.
https://news.detik.com/berita/d-3373583/ketua-mpr-pendidikan-moral-pancasila-di-sekolah-perlu-diajarkan-kembali
Susetiawati (2011). Toleransi Berkurang, PMP Diusulkan Kembali
Diajarkan. Setujukah ?. Diakses dari http://www.kompasiana.com/srie/toleransi-berkurang-pmp-diusulkan-kembali-diajarkan-etujukah_5500c0e78133110c51fa724d
Pilkada
DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah (2017, 2 Mei). Kompas.com. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/14210661/pilkada.dki.dikhawatirkan.timbulkan.intoleransi.di.lingkungan.sekolah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar