Jumat, 02 Juni 2017

Keberagaman di Dunia Pendidikan

“Harus  diingat  bahwa  kodrat  bangsa  lndonesia  adalah keberagaman.  Takdir  Tuhan untuk kita adalah  keberagaman. Dari Sabang  sampai  Merauke adalah  keberagaman.  Dari Miangas  sampai  Rote adalah juga  keberagaman.  Berbagai etnis,  bahasa,  adat  istiadat, agama,  kepercayaan  dan golongan  bersatu padu  membentuk  lndonesia.  ltulah  kebhinneka tunggal  ika-an  kita”

Itulah sepenggal pidato Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada Upacara dalam rangka Hari Lahir Pancasila Kamis, 1 Juni 2017. Sambutan tersebut dibacakan oleh seluruh Pemimpin Upacara yang diselenggarakan di seluruh Indonesia. Baik oleh Gubernur, Bupati, Walikota, pimpinan perusahaan BUMN maupun swasta.
Dari penggalan satu alinea pidato Presiden diatas, hal yang menarik yakni Presiden mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah keberagaman. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan keberagaman untuk bangsa Indonesia. Keberagaman tersebut tergambarkan di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas  sampai  Rote adalah juga  keberagaman.  Berbagai etnis,  bahasa, adat  istiadat, agama,  kepercayaan  dan golongan  bersatu padu  membentuk  lndonesia. Hal itu disebut Presiden sebagai kebhinneka tunggal ika bangsa Indonesia. “Itulah  kebhinneka tunggal  ika-an  kita,” tegas Presiden.
Pernyataan Presiden yang selalu mengingatkan rakyat Indonesia bukan lain karena kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang “gaduh”. Namun Presiden tidak menyebutkan secara ekplisit dalam pidatonya, Presiden menyebut hal tersebut sebagai “tantangan “, bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia sedang diuji. Presiden menyebut bahwa saat ini ada pandangan dan tindakan yang mengancam kebhinekaan dan keikaan bangsa Indonesia. Bahkan saat ini ada sikap tidak toleran yang mengusung ideologi selain Pancasila. Lebih parah lagi, sebut Presiden, masalah yang tersebut diperparah dengan penyalahgunaan media sosial yang banyak menggaungkan hoax alias kabar bohong.
Untuk itu Presiden mengajak masyarakat Indonesia untuk perlu  belajar  dari pengalaman buruk  negara  lain yang  dihantui  oleh  radikalisme,  konflik  sosial,  terorisme  dan perang saudara.  Sebab bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila dan  UUD  1945 dalam bingkai NKRI dan  Bhinneka  Tunggal  lka,  dapat terhindar dari  masalah  yang menjerat bangsa lain yang kini dilanda peperangan.  Bangsa Indonesia kini disyukuri hidup  rukun  dan  bergotong royong bersama-sama membangun negeri.
Disebutkan Presiden, bahwa dengan Pancasila lah, lndonesia  adalah  harapan  dan  rujukan masyarakat internasional  untuk  membangun  dunia  yang  damai,  adil dan makmur  di tengah  kemajemukan.
Sehingga Presiden mengajak peran aktif seluruh komponen masyarakat, mulai dari para ulama, ustadz,  pendeta,  pastor,  bhiksu,  pedanda,  tokoh  masyarakat, pendidik,  pelaku seni  dan budaya,  pelaku media,  jajaran birokrasi,  TNI  dan  Polri  serta lainnya untuk  menjaga Pancasila. Presiden meminta pemahaman  dan  pengamalan Pancasila  dalam  bermasyarakat, berbangsa  dan  bernegara harus terus  ditingkatkan. Mulai dari ceramah keagamaan, materi pendidikan,  fokus pemberitaan  dan perdebatan  di media sosial  harus menjadi  bagian  dalam  pendalaman  dan pengamalan nilai-nilai  Pancasila.

Politik di Dunia Pendidikan
Apa yang disampaikan presiden melalui pidatonya bahwa semua komponen masyarakat untuk menjaga Pancasila salah satunya dimulai dari materi pendidikan tentu upaya yang baik. Karena dunia pendidikan merupakan awal dimulainya generasi-generasi bangsa dalam berkecimpung di dunia politik. Demokrasi di dunia pendidikan tergambarkan dalam pelaksanaan pemilihan-pemilihan ketua suatu organisasi-organisasi kesiswaan. Organisasi yang terkenal di sekolah adalah Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Disanalah para siswa belajar berdemokrasi layaknya pemilihan-pemilihan pemimpin di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi dan pemilihan presiden melalui pemilihan umum (pemilu).
Pemilihan ketua OSIS sebagai salah satu cara pengembangan budaya atau nilai demokrasi yaitu melalui proses pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan pada diri peserta didik berupa pengetahuan, kesadaran, sikap, keterampilan dan kemauan, serta kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Kajian yang dilakukan oleh Cahyono, Sudarmanto, Sinaga (2014), menyebutkan bahwa pelaksanaan demkorasi berjalan dengan baik karena dilaksanakannya kultur atau nilai-nilai demokrasi pada OSIS. Yakni toleransi, kebebasan berpendapat, keterbukaan, komunikasi, saling menghargai dan kebersamaan. Pengembangan budaya demokrasi pada OSIS didukung adanya sikap saling menghargai perbedaan, guru yang mengajarkan sikap toleransi, sikap percaya diri siswa dalam berpendapat, disiplin,  loyalitas pada  organisasi,  saling  percaydan  menyadari kepentingan bersama. Sementara hambatan dalam pengembangan budaya demokrasi adalah tidak percaya diri dalam menyampaikan pendapat pada diri siswa, sikap otoriter dan arogan dari pihak sekolah, sikap tidak mau menerima pendapat orang lain serta sikap merasa luar biasa dibanding teman-temannya.
Namun Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Kemendikbud, ada potensi intoleransi terjadi di sekolah. Ada 8,2 persen yang menolak Ketua OSIS dengan agama yang berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen yang merasa nyaman dipimpin oleh seseorang yang satu agama. Meski demikian, ternyata mayoritas masih menjunjung tinggi nilai toleransi dengan menghargai adanya perbedaan agama maupun etnis di lingkungan sekolah (Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah, 2017).
Kekhawatiran tersebut memang belum terjadi. Namun dengan adanya 8,2 persen siswa di dua kota yakni Salatiga dan Singkawang tersebut memberikan potensi terhadap peningkatan jumlah siswa yang akan mungkin mengambil opsi yang sama. Sebab, penelitian baru dilakukan di dua kota di Indonesia, belum seluruh kota di Indonesia yang dilaksanakan penelitian tersebut. Apalagi saat ini usai dilaksanakannya Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Hasil putaran pertama sesuai rekapitulasi KPUD Jakarta yakni, Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni mendapatkan suara 937.950 dengan presentasi 17,02 %, pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 2.364577 dengan presentase 42,99 %, sedangkan pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno memperoleh 2.197.33 dengan presentase 39,95 % (Ini Hasil Pilgub DKI Putaran Pertama, 2017).
Pada putaran pertama, belum ada pasangan yang belum memperoleh suara lebih dari 50+1 persen. Sehingga kemudian dilaksanakan putaran kedua dilaksanakan pada tanggal 19 April yang diikuti oleh pasangan nomor 2 dan nomor 3 dan kemudian dimenangkan oleh pasangan nomor 3.
Pilkada DKI Jakarta diwarnai isu tak sedap. Mulai dari isu penistaan agama oleh salah satu calon gubernur, hingga black campaign (Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Diwarnai Black Campaign, 2017). Bahkan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu calon berakhir dengan putusan 2 tahun hukuman oleh pengadilan.
 Oleh karena itu apakah ekses Pilkada DKI Jakarta terbawa eksesnya sampai ke celah ruang di sekolah dalam berbagai pembelajaran demokrasi di sekolahan? Agar hal tersebut tidak terjadi bagaimana upaya yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat dan pemerintah agar ekses Pilkada tidak merambat ke sekolahan.

Pelajaran Pendidikan Pancasila
Menurut Zamroni (2001: 65) dalam kajian yang dilaksanakan oleh Cahyono dkk (2014), menyebut kultur dan nilai demokrasi meliputi; (1) toleransi, (2) kebebasan mengemukakan pendapat, (3) menghormati perbedaan pendapat, (4) memahami keanekaragaman, (5) terbuka dan komunikasi, (6)  menjunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaan, (7) percaya diri, (8) tidak menggantungkan pada  orang  lain,  (9)  saling  menghargai,  (10)  mampu  mengekang  diri,  (11) kebersamaan, (12) keseimbangangan.
Berdasarkan  teori  yang  disampaikan  Zamroni,  Cahyono dkk meneliti  lima indikator berkaitan dengan budaya demokrasi pada OSIS yang meliputi; (1) sikap toleransi dan keanekaragaman dalam OSIS, (2) kebebasan berpendapat dalam OSIS, (3) keterbukaan dan komunikasi dalam OSIS, (4) menghargai persamaan derajat   dalam  OSIS,  (5)  kebersamaan  dalam  OSIS. 
Budaya demokrasi yang dilaksanakan oleh OSIS dapat dilihat dalam pelaksanaan nilai-nilai demokrasi meliputi (1) sikap toleransi dalam keanekaragaman yang terlihat  dari  sikap  saling  menghargai  adanya  perbedaan  agama,  suku  dan pendapat. Sikap toleransi juga terlihat dalam pembagian tugas tidak membedakan agama, suku dan gender yang menjadi dasarnya adalah kecakapan dan kemampuan; (2) Kebebasan berpendapat  dalam OSIS telah dilaksanakan baik oleh pengurus maupun pembina OSIS atau pihak sekolah. Kebebasan menyampaikan pendapat dilaksanakan dalam kegiatan rapat-rapat dan diluar rapat siswa diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatntya; (3) keterbukaan dan komunikasi  dalam  OSIS  terlihat  dari  perilaku  pengurus,  pembina  dan  wakil kepala sekolah yang selalu terbuka dan menjalin komunikasi. Keterbukaan terlihat dari sikap pembina OSIS yang selalu menerima saran dan masukan serta ide-ide baik dari pembina maupun pengurus OSIS; (4) menghargai persamaan derajat diwujudkan dengan  sikap  dan  perilaku  menghargai dan  menghormati adanya berbagai perbedaan dalam OSIS dan bila terjadi perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan baik; (5) kebersamaan dalam OSIS diwujudkan dengan menyelesaikan tugas-tugas dan kegiatan OSIS bersama-sama.
Pelaksanaan budaya demokrasi pada OSIS tidak lepas dari peran sekolah karena keberadaan OSIS sebagai organisasi siswa di sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan sekolah    untuk mengembangkan demokrasi sesuai dengan pendapat  Zamroni (2011: 165) pendidikan memiliki peran sentral dalam upaya pengembangan demokrasi. Pendidikan yang mampu mengembangkan demokrasi adalah pendidikan yang kehidupannya memiliki roh dan spirit demokrasi yang teraktualisasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari, berarti pendidikan yang mampu mengembangkan demokrasi adalah pendidikan yang memiliki kultur sekolah demokratis.
            Sementara itu, kurikulum pendidikan sekolah waktu dulu, siswa diwajibkan untuk mengikuti pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan kemudian diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan (PPKn). Namun PMP dan PPKn dalam kurikulum pendidikan saat ini tidak diajarkan kembali sejak tahun 2003. Padahal isi PMP dan PPKn mengajarkan pada toleransi dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
            Materi tersebut diminta diajarkan kembali oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan. Zulkifli  setuju pendidikan moral Pancasila diajarkan kembali di sekolah-sekolah, mulai SD hingga SMA. Para guru juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Zulkifli menyatakan hal itu saat menjawab usulan yang disampaikan oleh anggota Kaukus Politisi Perempuan Indonesia (KPPI). Usulan itu muncul dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR di ruang Ayodhia Hotel Tasneem, Jl. Brigjen Katamso, Yogjakarta (Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Perlu Diajarkan Kembali, 2016).
Dalam konteks akan diajarkan kembali PMP dan PPKn, menurut Susetiawati (2011) berpendapat bahwa pendidikan moral Pancasila (PMP) kurang relevan untuk diajarkan kembali di sekolah-sekolah, sama seperti yang terjadi selama beberapa tahun yang lalu. Apalagi, bila pendidikan Pancasila dianggap sebagai sebuah solusi, tentu akan jauh dari masalah yang sebenarnya.
Menurut Susetiawati (2011) Pancasila tetaplah merupakan dasar negara, atau dasar-dasar yang lebih bersifat politik mengenai bagaimana sebuah NKRI sebaiknya diselenggarakan. Mengapa PMP dianggap kurang relevan untuk diajarkan kembali ? Antara lain, karena (1) Pancasila bukanlah sebuah ajaran, dalam arti melingkupi sebuah sistem nilai yang berdiri sendiri, utuh dan sistematis. Jangan pernah lagi, terjebak pada klaim dan indoktrinasi yang mengatasnamakan ajaran Pancasila. (2) dalam prakteknya, apa yang terjadi selama proses belajar di sekolah, apa yang dipahami dari ajaran agama dan apa yang disaksikan dari perilaku para tokoh, justru akan jauh lebih efektif, dibandingkan hanya sekedar pelajaran moral Pancasila yang sebenarnya merupakan "duplikasi" dari pengetahuan atau ajaran yang telah ada, dan justru akan menambah beban siswa untuk menghapal.
            Dari paparan diatas, memang diperlukan upaya untuk menjaga keberagaman mulai sejak dini. Pendidikan Pancasila atau materi sejenisnya untuk diajarkan kembali di sekolah kepada siswa-siswi sebagai generai penerus bangsa. Sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam diri siswa dapat menjadi panduan dan pedoman  dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tidak ada lagi intoleran terhadap apa yang terjadi di sekolahan, khususnya pendidikan demokrasi di sekolah. Seperti pemilihan ketua OSIS di sekolah. 



DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, B., Sudarmanto, R. G., & Sinaga, R. M. (2014). BUDAYA DEMOKRASI PADA OSIS. Jurnal Studi Sosial, 2(3)


Ini Hasil Pilgub DKI Putaran Pertama (2017, 4 Maret). Okezone.com. http://news.okezone.com/read/2017/03/04/338/1634341/ini-hasil-pilgub-dki-putaran-pertama

 

Ketua MPR: Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Perlu Diajarkan Kembali ( 2016, 16 Desember). Detik.com. https://news.detik.com/berita/d-3373583/ketua-mpr-pendidikan-moral-pancasila-di-sekolah-perlu-diajarkan-kembali

Susetiawati (2011). Toleransi Berkurang, PMP Diusulkan Kembali Diajarkan. Setujukah ?. Diakses dari http://www.kompasiana.com/srie/toleransi-berkurang-pmp-diusulkan-kembali-diajarkan-etujukah_5500c0e78133110c51fa724d


Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah (2017, 2 Mei). Kompas.com. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/14210661/pilkada.dki.dikhawatirkan.timbulkan.intoleransi.di.lingkungan.sekolah

Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Diwarnai Black Campaign (2017, 1 April).  Jawapos.com. http://www.jawapos.com/read/2017/04/01/120380/putaran-kedua-pilkada-dki-jakarta-diwarnai-black-campaign

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar