Jumat, 10 Maret 2017

Ki Wandi: Doa Kejawen Sebagai Doa Multikultural

Wilayah Metropolitan Malang Raya menawarkan sejuta keindahan alam. Banyak tempat wisata alam maupun buatan yang populer sehingga menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Kawasan metropolitan kedua di Jawa Timur setelah Gerbangkertosusilo ini juga memiliki aset sosial budaya yang beragam.


Keberagaman budaya yang ditampilkan oleh masyarakat Malang Raya dalam harmoni yang indah, justru semakin mempercantik dan memperkaya keindahan alam yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta. Meskipun masyarakat Malang Raya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Baik adat istiadat, agama, kepercayaan namun budaya tersebut masih dipertahankan sejak nenek moyang hingga sekarang. Wujud budaya itu, salah satunya adalah Kejawen.

Kejawen sebagai wujud budaya dalam masyarakat Jawa menurut Kuncaraningrat (2009) terdiri dari ide, tindakan, dan artefak atau benda-benda hasil karya manusia. Kejawen merupakan sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa. Secara hakikat, Kejawen merupakan filsafat yang keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama:  Tiyang Jawi) itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa,  dalam bahasa Indonesia berarti "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.

Sementara menurut Santoso (2015), Kejawen dalam pandangan umum masyarakat tak lekang dari manifestasi seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Hingga Kejawen juga memiliki arti sebagai aliran spiritual atau sisi spiritual suku Jawa. Apa yang dilakukan oleh pelaku spritual Kejawen agar memenuhi kadar spiritual Kejawen?

Santoso menyebut ada dua tindakan atau laku atau olah spiritual utama yang harus dilakukan oleh pelestari Kejawen. Yakni pasa (berpuasa) dan tapa (bertapa). Tapa mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan kata semedi. Ritual-ritual juga tetap dilaksanakan, diamalkan dan dipelihara secara turun termurun sekalipun di masyarakat Jawa kini telah menganut agama-agama dan kepercayaan yang berbeda dengan nenek moyang mereka pada dahulu kala. Seperti ritual-ritual dan kepercayaan terhadap roh serta wali keramat maupun benda-benda magis, masih tetap mengakar dalam laku keseharian mereka. 

Demikian juga saat melakukan upacara atau ritual di berbagai tempat di golongkan sebagai suatu tindakan religius dan merupakan bagian dari suatu kebudayaan bagi para pelaku Kejawen. Sebagai sebuah tindakan religius, kegiatan dan ritual tertentu pada prinsipnya merupakan upaya manusia dalam mencari hubungan atau berkomunikasi dengan Tuhan, dewa-dewi, ataupun makhluk-makluk yang menghuni alam gaib. Kegiatan manusia tersebut sudah tentu dilandasi dan didorong oleh adanya emosi keagamaan (relegious emotion), sebuah getaran spiritual yang dipercaya menggerakkan jiwa manusia

Komunikasi Transendental
Dilihat dari perspektif Ilmu Komunikasi, upaya menjalin hubungan yang dilakukan pelaku Kejawen tersebut dengan menyampaikan pesan berupa doa atau mantra dikenal sebagai komunikasi transendental. Mantra adalah kata-kata puitis atau bacaan yang digunakan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa atau untuk berkomunikasi dengan makhluk halus (Indrajati, 1979). Sebagian orang percaya kalau kata-kata ini merupakan ilham atau wangsit dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai perangkat magis, mantra bisa berbentuk tradisi lisan ataupun teks menurut bahasa di mana mantra itu berada.
                                                                                   
Sementara menurut Deddy Mulyana, meskipun komunikasi yang disebut komunikasi transendental paling sedikit dibicarakan, akan tetapi bentuk komunikasi seperti inilah yang terpenting bagi manusia. Sebab keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, manusia berhasil atau tidak dalam berhubungan dengan Tuhan atau bagaimana ia bisa menempati surga di akhirat, tergantung pada strategi pendekatan yang dilakukannya.

Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Hayat Padje, bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi dengan sesuatu yang bersifat “gaib”, termasuk komunikasi dengan Tuhan. Gaib di sini, sama halnya dengan pendapat Indrajati, adalah hal-hal yang sifatnya supranatural, adikodrati, suatu realitas yang melampaui kenyataan duniawi semata.

Wujud hal gaib yang dimaksudkan dalam agama modern yang disebut “Tuhan “ atau “Allah” atau nama lain yang sejalan dengan pengertian itu.  Keterbukaan kepada hal gaib merupakan keterbukaan kepada kebaikan, kepada hal yang positif dan terpuji. Kepercayaan kepada hal gaib adalah kepercayaan manusia mengenai adanya suatu kuasa yang ada dalam hidup dan kehidupannya, melebihi kekuatan dunia ini yang mempengaruhi hidupnya.

Doa Multikultural
Salah seorang pelaku ajaran Kejawen di Malang Raya, Ki Wandi, menyatakan doa atau mantra yang diungkapkan dengan menggunakan Kejawen, mulai dari tata cara dan bahasa yang digunakan yakni bahasa sastra Kawi yang kuna makuna (kuno). Ki Wandi mengatakan hal tersebut usai memimpin doa saat pembukaan kegiatan Budaya dan Arak Tumpeng Ageng Arjuno pada Artjuno Fest di UB Forest Kawasan Lereng Gunung Arjuno, Bonowarih, Karangploso, Kabupaten Malang dalam rangka Dies Natalis ke-54 Universitas Brawijaya Sabtu, 6 Januari 2017 lalu.

Menurut Ki Wandi, doa yang dipanjatkannya merupakan doa yang dapat mengatasi perbedaan agama maupun kepercayaan yang dianut masyarakat saat ini. Sebab, subtansi doa tidak hanya dipandang sempit tetapi juga mencerminkan kebhinekaan Indonesia yang bersifat sosio-spiritual.

Sosio-spiritual digambarkan dengan adanya kesadaran akan Sang Pencipta tumbuh sumbur di kalangan pemeluknya karena ladang-ladang agama dipupuk dan dipelihara oleh negara. Sehingga frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Dasar Negara Republik Indonesia merupakan kearifan dalam merengkuh dan merangkul keanekaragaman agama-agama dan kepercayaan (Baidhawy, 2016).

Pemimpin Padepokan Gunung Ukir (PGU) di lereng Gunung Wukir itu menyatakan saat prosesi doa, yang hadir di tempat tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan pemeluk tujuh agama dan kepercayaan. Yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan kepercayaan. Sehingga doa yang digunakan cukup satu yakni mantra atau doa dengan menggunakan bahasa sastra Kawi yang kuna makuna. Bahasa yang digunakan saat zaman masih berdirinya Kerajaan Kanjuruhan. Inti doa yang dilantunkan selain sebagai permintaan keselamatan juga sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan doa tersebut diharapkan masing-masing penganut agama yang hadir tidak “tersinggung”. Apalagi doa kuna  makuna sudah ada sebelum agama-agama “modern” hadir di Nusantara. Ki Wandi mengingatkan bahwa kita hidup di dunia jangan sampai dicampuradukan pada agama, sebab agama itu lakum dinukum wa liyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku). Akan tetapi sebagai manusia diwajibkan menghormati adat istiadat dimana kita berada, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.   

Pesan lain yang ingin disampaikan oleh Ki Wandi bahwa manungsa aja lali nang kawitane (manusia jangan lupa dengan dahulunya). Sebab dalam berdoa, para pendahulu melaksanakannya dengan tata cara seperti itu. Hingga sampai sekarang pun dikenang, dicari, digali kembali dan diharapkan dapat dilestarikan dan menjadi cagar budaya bangsa Indonesia. Bahkan melalui seni dan budaya, Ki Wandi meyakini unsurnya dapat menggaet dan menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam sebuah bingkai kerukunan, yakni kerukunan bangsa Indonesia. (*)





Guru Asing di Kelas Kursus Bahasa Asing

Diterbitkan di Rubrik Opini Harian Radar Tegal, 02 November 2016

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665560057685&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207665501296216&set=a.1371229601430.2045818.1252450281&type=3&theater

Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) RI melalui Kantor Imigrasi Kelas II Pemalang terpaksa menahan paspor salah seorang warga asing (WNA) asal Beijing, Republik Rakyat Cina (RRC) pada Kamis, 27 Oktober 2016. WNA itu diduga menyalahi ijin tinggal, sebab pada Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) tertera kode pelajar. Namun yang bersangkutan bekerja pada lembaga kursus bahasa Mandarin di Jl. A. Yani Kota Tegal. Imigrasi menangkap perempuan itu setelah dua bulan melakukan pengamatan.

Selain itu, berbagai kejanggalan ditemukan ketika petugas Imigrasi meneliti dokumen milik WNA yang ijin tinggalnya di Jakarta, tetapi saat ditangkap ia sedang berada di Kota Tegal. Sementara sponsor WNA tersebut juga tidak melaporkan kepada Imigrasi. Pihak Imigrasi mengancam mendeportasi WNA tersebut jika ditemukan bukti pelanggaran selama dua bulan terakhir. (Radar Tegal/Jawapos.com, 28 Oktober 2016).


Lain lagi ceritanya di Kota Cirebon. Pada malam di hari yang sama, petugas Imigrasi Kelas II Cirebon melaksanakan operasi pemeriksaan rutin dengan sasaran orang asing yang menyalahgunakan izin tinggal. Diketahui ada seorang WNA diduga bekerja di salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris di Jalan Perjuangan Kota Cirebon. Sebab ketika dilakukan operasi, WNA tersebut sedang melakukan proses pembelajaran kepada ketiga murid yang baru mengikuti kursus. Ketiga murid tersebut mengatakan sedang mengikuti placement test karena hari itu adalah hari pertama mereka mulai kursus. (radarcirebon.com, Jumat, 28 Oktober 2016).

Fenomena banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia tidak dapat dielakan. Apalagi sejak diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Bahkan berhembus isu santer mengenai banjirnya pekerja asing asal Tiongkok sebanyak 10 juta pekerja. Namun isu tersebut telah dibantah oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). 

Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenaker Hery Sudarmanto, menyatakan pekerja asing asal Tiongkok, sebagaimana halnya pekerja asing dari negara lain, mengalami fluktuasi tiap tahun, kadang naik kadang turun dengan rata-rata berkisar 14-16 ribu dalam periode satu tahun atau sekitar 20-22 persen dari total 70-an ribu pekerja asing di Indonesia. Seluruh jumlah tenaga kerja asing itu sekitar 0,027 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 257 juta, atau sekitar 0,05 persen jika dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia tahun 2016 sebesar 128 juta (jppn.com, 04 Agustus 2016).

Guru Asing di Lembaga Kursus Bahasa

Banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat dibidang ketenagakerjaan.  Dampaknya bukan hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial-budaya.

Di bidang ekonomi, Lembaga kursus bahasa asing yang mendatangkan native speaker teacher (guru asing) bertujuan untuk menaikan prestise, agar lebih populer, memenangkan persaingan, menarik minat peserta kursus untuk belajar di lembaga tersebut. Tentunya tenaga asing yang mengajar harus telah memiliki izin untuk mengajar di suatu perusahaan atau lembaga pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Sementara di bidang sosial, terjadi pertemuan, interaksi dan komunikasi antar orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda di Lembaga kursus bahasa asing. Demikian pula terjadi komunikasi antarbudaya di dalam satu kelas ketika murid-murid diajar oleh seorang guru asing. Sehingga beberapa peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam. Sebab dalam proses pengajaran bahasa asing melibatkan dua budaya yang memiliki kekhasan masing-masing.

Dalam tulisan ini penulis tidak menyoroti tentang kasus pelanggaran administrasi yang harus dipenuhi oleh WNA yang diduga bekerja sebagai tenaga pengajar. Namun penulis fokus pada strategi yang tepat dilakukan oleh guru asing dan peserta kursus agar komunikasi yang efektif dapat terbangun dengan baik, saat terjadi proses belajar mengajar atau transfering knowledge di sebuah kelas Lembaga Kursus Bahasa Asing. Sebab, saat guru asing mengajar kepada murid-muridnya, komunikasi yang berlangsung pasti tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan mengupas beberapa penelitian yang terdahulu dapat diketahui apa strategi guru asing dan peserta kursus untuk dapat mengajar maupun belajar bahasa asing lebih efektif.

Komunikasi Antarbudaya

Asumsi dasar yang dikembangkan adalah bahwa interaksi kultural umumnya terjadi bersamaan, jika tidak bermula dari kontak dua bahasa berbeda yang melahirkan terminologi bahasa asli (native) dan bahasa asing (foreign). Kontak dua bahasa atau lebih tidak jarang melahirkan ‘persaingan’ atau pengaruh, untuk alasan apa pun, yang pada gilirannya mencetuskan upaya pemertahanan bahasa. (Dedi Irwansyah. 2013).

Sementara menurut Amia Luthfia (2013), saat kedua pihak berkomunikasi ada yang menyiratkan tatapan mata ketidakpahaman, senyuman yang dipaksakan, gumaman komentar dalam bahasa yang tidak jelas akibat tidak dipahaminya kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya terkadang tanpa disadari, pihak lain juga membuat orang lain bingung dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan aksen bicara.

Disebutkan Mitchel (2001) dalam Amia Luthfia (2013), orang-orang dengan budaya yang berbeda memproses informasi dengan cara yang berbeda, menilai perlakuan secara berbeda dan mengukur konsep waktu dan ruang dalam pola yang berbeda pula. Kepekaan atas perbedaan budaya bisa menjelma menjadi  masalah serius.

Dari pendapat tersebut komunikasi antarbudaya jika tidak dipelajari dan dimengerti oleh pihak yang terlibat sebagai partisipan komunikasi dapat mengakibatkan masalah serius. Misalnya terjadi hambatan komunikasi, kesalahpahaman, perbedaan persepsi dan lain sebagainya.

Malista Pauline Christy (2013) mengatakan kesalahpahaman dapat terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya dan hambatan komunikasi pun berpotensi muncul saat mereka bertemu dan melakukan proses komunikasi. Dari hasil penelitian Malista Pauline Christy pada tahun 2016 yang berjudul “Hambatan Komunikasi Antarbudaya antara Dosen Native Asal China dengan Mahasiswa Indonesia Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra Surabaya”, hambatan yang dialami oleh dosen native asal China antara lain hambatan nilai agama dan worldview, hambatan persepsi (sikap) terhadap latar belakang budaya pendidikan serta hambatan keterampilan verbal. Latar belakang budaya pendidikan meliputi gaya pembelajaran relasional gaya motivasi budaya.

Sedangkan dari pihak mahasiswa Indonesia mengalami hambatan komunikasi yang disebabkan keterampilan bahasa dan perbedaan latar belakang agama dan worldview. Hambatan keterampilan bahasa maupun hambatan aksen mahasiswa Indonesia memengaruhi mereka dalam menyandi pesan dalam bahasa Mandarin menyebabkan persepsi oleh dosen native asal China yang tidak sesuai dengan pesan yang dikehendaki oleh mahasiswa.

Padahal mahasiswa Indonesia yang diteliti oleh Malista beretnis Tionghoa yang memiliki persamaan kultural dengan dosen native asal China. Mereka selaku etnis Tionghoa tidak hanya menerima nilai-nilai yang berlaku di Indonesia, tetapi juga nilai-nilai selaku etnis Tionghoa. Nilai ke-Tionghoaan tersebut berasal dari leluhur mereka yang berasal dari daratan China. Meski demikian, terjadi Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian sering terjadi dalam proses belajar mengajar. Seperti berupa kesalahmengertian oleh dosen native asal China terhadap apa yang dikomunikasikan oleh mahasiswa, maupun kebingungan atau bahkan ketidakmengertian mahasiswa terhadap apa yang dikomunikasikan oleh dosen native. Dalam proses komunikasi antarbudaya, para partisipan komunikasi juga berada dalam situasi tertentu pula yang juga mempengaruhi bagaimana mereka melakukan penyandian dan penyandian balik pesan (Ting-Toomey. 2005, p.43).

Hal yang sama juga bisa diterapkan ketika seorang WNA asal Tiongkok yang menjadi tenaga pengajar di Lembaga Kursus Bahasa Mandarin di Kota Tegal. Perbedaan persepsi dan kesalahmengertian dalam proses belajar mengajar pasti sering terjadi. Apalagi peserta kursus bahasa Mandarin bukan hanya keturunan Tionghia yang memiliki leluhur yang berasal dari China sehingga mereka mendapat penanaman nilai selaku etnis Tionghoa serta nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Peserta kursus juga terdapat orang yang tidak “mengenal” budaya China secara mendalam.

Pendidikan Mulitikultural

Untuk itu dalam dunia pendidikan, diperlukan pemahaman tentang pendidikan multikultural. Agar ketika berada disituasi beda budaya, masyarakat mampu mengatasi hambatan komunikasi. Gibson (dalam Hernandez, 2001) dalam Setya Raharja (2006) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan, mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem kebudayaan sendiri.

Tilaar (2002), mengatakan pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dari apa yang dikemukakan di atas, pada dasarnya dapat dimaknai bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan perbedaan atau keragaman budaya anak didik yang dipengaruhi oleh budaya etnis (kedaerahan), status sosial ekonomi (kelas sosial), gaya hidup kota-desa (way of life), agama, dan keahlian (Soerjono Soekanto, 1990: 206).

Agar berhasil baik, bentuk implementasi pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kriteria atau standar tertentu. Seeberg dan Minick dalam Dedi Irwansyah (2013), pernah membuat empat standar kompetensi lintas budaya, yaitu: (a) penguatan kesadaran kultural; (b) kontak positif antarkelompok melalui upaya untuk meminimalisir syakprasangka antarkelompok; (c) penerimaan, penghormatan (respect), dan apresiasi terhadap individu yang memiliki budaya berbeda; dan (d) perspektik anti-rasis, anti disparitas gender, anti imperialis dan pro aksi keadilan sosial.

Keempat standar tersebut dapat saja dirangkum ke dalam sebuah mata pelajaran atau disisipkan ke dalam pelajaran-pelajaran yang sesuai. Menurut Dedi Irwansyah, pengajaran bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris, bahasa Mandarin memiliki peluang yang besar untuk menanamkan kesadaran lintas budaya sekaligus mengaplikasikan standar pendidikan multikultural yang ditetapkan sebelumnya. (*)



Menarik Wisatawan dengan Potensi Multikultural

Diterbitkan di Rubrik Opini Harian Radar Tegal, 19 Januari 2017




Setiap tahun berbagai agenda tahunan baik pagelaran seni, budaya dan perayaan hari besar keagamaan dilaksanakan di Kota Tegal. Berbagai kegiatan yang menceminkan keragamaan masyarakat Kota Tegal tersebut tentu mengundang kedatangan masyarakat dalam jumlah yang banyak. Mereka bukan hanya berasal dari Kota Tegal dan sekitarnya, namun juga berasal dari kota-kota lain di Indonesia.

Agenda seni, budaya dan perayaan hari besar keagamaan sebagai tradisi Kota Tegal mencerminkan betapa multikulturalnya masyarakat Kota Tegal. Apalagi kota yang kini terang benderang di malam hari memiliki sistem religi yang sangat beragam meliputi sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan namun hidup dengan damai.

Sebab hal tersebut sesuai dengan gagasan multikulturalisme, yang beragam dalam hal etnis, budaya, agama dan sebagainya, tetapi bercita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk membela pluralisme (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar). Sehingga berbagai agenda seni, budaya dan perayaan hari besar keagamaan dapat dilaksanakan seiring sejalan.

Agenda yang telah mentradisi tersebut antara lain ruwatan Pantai Alam Indah (PAI), sedekah laut oleh masyarakat nelayan Kota Tegal di pelabuhan Tegalsari, sedekah laut di Kelurahan Muarareja, Pawai Rolasan, Kirab Gotong Toa Pe Kong Perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tek Hay Kiong sebagai kelanjutan perayaan Imlek, Haul Habib Muhammad bin Thohir Al Haddad dan Haul Mbah Panggung.

Belum lagi berbagai kegiatan manaqib, pengajian akbar, istighosah yang biasanya diadakan rutin dalam rangka memperingati perayaan hari besar agama Islam seperti Isro Mi’roj, Maulid Nabi yang berlangsung di Masjid Agung maupun di Alun-alun kota Tegal atau digelar di tempat lain yang representatif dan kegiatan lainnya yang belum disebutkan.

Tujuan kedatangan mereka bukan hanya menjadikan agenda tersebut sebagai agenda wisata, sehingga mereka disebut wistawan, tetapi juga untuk berpartisipasi langsung merayakan agenda yang telah bertahun-tahun menjadi tradisi masyarakat kota yang dikenal dengan kesenian balo-balonya. Tentu harapannya mereka bukan hanya datang saat acara berlangsung kemudian langsung pulang kembali. Tetapi mereka dapat tinggal lebih lama di Kota Tegal sambil menikmati berbagai ragam kuliner khas Kota Bahari, berkunjung ke tempat wisata, wisata belanja produk-produk khas Kota Tegal dan lain sebagainya

Selain itu, diharapkan dengan kedatangan para wisatawan tingkat okupansi atau tingkat hunian hotel di Kota Tegal  akan naik dengan tinggal lebih lama. Apalagi Kota Tegal kini jumlah hotel yang beroperasi telah bertambah. Ada dua hotel yang secara berturut-turut telah resmi melayani tamu menginap yakni hotel di Jalan Mayjend Suyoto dan hotel di Jalan Gajah Mada. Kini ada 25 hotel di Kota Tegal dan sekitarnya yang telah terdaftar di salah satu situs yang menyediakan layanan pemesanan tiket pesawat dan hotel secara dalam jaringan (daring) terkenal di Indonesia.

Namun lihatlah kunjungan wisatawan asing di Indonesia usai kebijakan pemberian bebas visa kepada 84 negara satu tahun yang lalu. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata jumlah kunjungan wisatawan pada bulan Februari 2016 naik signifikan. Jumlah kunjungan wisatawan asing pada bulan itu tercatat 888,3 ribu orang, meningkat 9,09 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Meski jumlah turis meningkat, tetapi waktu kunjungan justru menurun. BPS mencatat, rata-rata turis hanya berkunjung selama 1,83 hari atau menurun 0,15 hari daripada Februari tahun 2015 yang disebabkan minimnya atraksi wisata di daerah-daerah tujuan. (radartegal.com/Sabtu, 2 April 2016).

Hal tersebut dilakukan oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, untuk menarik wisatawan berkunjung ke Bumi Blambangan itu. Menurutnya atraksi utama yang ditampilkan Banyuwangi adalah budaya lokal, budaya asli Banyuwangi yang semuanya “serbalokal” dan berbagai suguhan yang juga “serbalokal”.  Sepanjang tahun, sejak bulan Mei, ada festival. Pada tahun 2014 lalu ada 23 festival yang diselenggarakan dengan tema yang berbeda-beda. Dengan mengangkat tema festival yang berakar pada seni-budaya lokal, diharapkan masyarakat dapat menjaga nilai-nilai budaya yang menjadi perekat kehidupan sosial sekaligus identitas (beritasatu.com/Kamis, 27 November 2014).

Berkaca dari Kabupaten Banyuwangi, untuk itu perlunya dipersiapkan agenda-agenda yang bukan hanya mampu menstimulus jumlah kunjungan wisatawan, tetapi juga menstimulus lamanya waktu kunjungan, dengan menawarkan atraksi-atraksi menarik dalam setiap kegiataan wisata di Kota Tegal. Tentunya hal tersebut membutuhkan kreatifitas dan inovasi agar keberagaman masyarakat Kota Tegal yang menjadi potensi pariwisata dapat benar-benar di optimalkan dan dimaksimalkan. Baik dari segi keberagaman tradisi, budaya maupun keagamaan. 

Persiapan itu pun seyogyanya dilakukan jauh-jauh hari, mumpung masih diawal tahun. Sehingga dengan persiapan yang matang, diharapkan berbagai agenda dapat dilaksanakan scara maksimal pula. Persiapan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat dan pelaku pariwisata, pemangku kebijakan dan stakeholder yang ada di Kota Tegal juga diharapkan bahu membahu dan bekerja sama sehingga dapat mewujudkan harapan bersama. 

Apalagi peran Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal tidak bisa dikesampingkan dalam mendukung keberlangsungan berbagai agenda tersebut. Bahkan Pemkot Tegal berupaya mendorong peningkatan kunjungan wisatawan dengan mengadakan berbagai event-event menarik. Contohnya dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Tegal, telah menjadi tradisi bagi Pemkot Tegal mengagendakan berbagai festival-festival.

Seperti tahun 2016, Pemkot Tegal menggelar berbagai pesta rakyat, berupa pagelaran seni budaya serta kuliner. Seperti Festival Tegal Masa Lampau, Pesta Ponggol dan Aneka Masakan Telur Itik, Pagelaran Wayang Golek dan Tegal Pesisir Karnaval (TPK) yang pada tahun kemarin telah melaksanakan untuk kelima kalinya. Diharapkan di Hari Jadi Kota Tegal ke-437 tahun 2017, Pemkot Tegal dapat mengagendakan berbagai kegiatan dengan tema-tema menarik yang bukan saja menghibur masyarakatnya, tetapi juga mampu menjadi magnet minat wisatawan berkunjung.

Salah satu agenda tahunan yang segera dilaksanakan dalam waktu dekat ini yakni perayaan Imlek 2568/2017 yang jatuh pada tanggal 28 Januari 2017. Biasanya masyarakat keturunan Tionghoa di Kota Tegal menggelar berbagai agenda di Klenteng Tek Hay Kiong Kota Tegal yang menarik untuk dikunjungi. Sebab Kota Tegal menjadi rujukan dan masuk dalam 8 tempat yang tepat untuk merayakan Imlek di Indonesia karena selain memiliki kelenteng berusia ratusan tahun yang bernama Tek Hay Kiong, perayaan di Kota Tegal lebih ramai dibandingkan tempat lainnya. Karena Kelenteng Tek Hay Kiong mengundang kelenteng-kelenteng lain, bukan hanya dari sekitar Kota Tegal Tetapi dari Jakarta, Bogor, Bali dan daerah lainnya (loop.co.id).

Selain itu, perayaan Imlek di Kota Tegal juga di ramaikan oleh kedatangan saudara dan kerabat yang terpisah jarak untuk berkumpul bersama. Mereka yang merantau biasanya pulang kampung dan merayakan Imlek di Kampung halaman masing-masing. Sehingga tak mengherankan perayaan Imlek di Kota Tegal semakin meriah, bahkan mereka berkumpul dengan keluarga di Kota Tegal hingga perayaan Cap Go Meh. (*)



DAFTAR PUSTAKA
Jumlah Turis Naik, Lama Kunjungan Turun. (02 April 2016). Radartegal.com. Diakses dari 

Perayaan Imlek di Khong Mi Ao Makin Tegal. (21 Maret 2016). Hometown Jia xiang. Diakses dari 

8 Tempat yang Pas  untuk Merayakan Imlek di Indonesia. (2016). Loop.co.id. diakses dari 


Rabu, 08 Maret 2017

Pelajaran Berharga Boikot Arla di Timur Tengah

CASE STUDY-CRISIS MANAGEMENT:

 ARLA PRODUCT BOYCOTT IN THE MIDDLE EAST

Arla Foods is a cooperative based in Ă…rhus, Denmark, and the largest producer of dairy products in Scandinavia. It is owned by 11,000 Danish and Swedish farmers. The company has a large presence in the Middle East, with annual sales there of US$480 million. On 30 September 2005, Danish newspaper Jyllands-Posten published 12 editorial cartoons that depicted the prophet Muhammad. Besides depicting the prophet – which is blasphemy to Muslims – the cartoons were considered by many to be Islamophobic and racist. The newspaper said the cartoons were an attempt to contribute to the debate regarding criticism of Islam and self-censorship. Between October 2005 and February 2006, the cartoons were reprinted in several major European newspapers in Norway, the Netherlands, Germany, Belgium and France. This led to protests from Muslims across the world. Protest action included: setting fire to the Norwegian and Danish embassies in Damascus and Beirut; attacks on the Danish embassy in Tehran; and gunmen storming an EU building in Gaza City demanding an apology from Denmark and Norway.
Soon after the widespread publication of the cartoons, ambassadors from Muslim-majority countries requested a meeting with the Danish prime minister, Anders Fogh Rasmussen, to discuss the publications and perceived wider mistreatment of Muslims in Denmark. The Danish government declined the meeting, saying it could not influence the press. In his New Year speech, the prime minister chose not to apologize, but instead spoke of sensitivities when exercising free speech. On 20 January 2006, Saudi Arabian political and religious figures called for a boycott of Danish products. Arla responded by placing advertisements in Saudi newspapers distancing itself from the cartoons. Arla told the offending newspaper, Jyllands-Posten: ‘We fear that we will be hit by a wave of consumer anger.’ The company also decided to put full-page advertisements in Saudi newspapers showing the official Danish stance on Islam. But Arla later admitted this action had not helped.
On 27 January, the Confederation of Danish Industries appealed to Jyllands-Posten to print an apology for having commissioned the drawings, which they did on 31 January. The newspaper published two open letters on its website: one from the newspaper itself apologizing for the offence caused to Muslims; and the other from the artist who had depicted Muhammad with a bomb in his turban, justifying his cartoon. The prime minister welcomed the apology, but said: ‘The Danish government cannot apologize on behalf of a Danish newspaper… independent media are not edited by the government.’ Meanwhile, Swiss giant NestlĂ© admitted to advertising in a Saudi paper telling consumers that two of the products it sold in the region were not of Danish origin. The company denied it was an ‘anti-Danish’ measure and justified the advert by saying it had achieved its purpose, with NestlĂ© sales normalizing.
At the end of January, Arla said the boycott of Danish products in the Middle East was almost total and that all its customers in the region had cancelled their orders. This resulted in 100 lay-offs. Arla said: ‘We have found ourselves in the middle of a game we have no part in.’ It added that it was very difficult to get this particular message across to its Muslim customers. ‘We have taken 40 years to build up a very big business in the Middle East, and we’ve seen it come to a complete stop in five days.’ January also saw an attack on two Arla employees, and in February Arla said the boycott was costing the company £1 million per day.

Outcome
On 1 March, Arla estimated the cost of the boycott would amount to US$64 million. But it reaffirmed its commitment to the Middle East: ‘Even if the situation looks very difficult, we believe that Arla has a future in the Middle East.’ Later that month, Arla began remarketing in the Middle East with full-page advertisements in 25 Arab newspapers. At the beginning of April, Arla products were beginning to be put back on the shelves of stores in the Middle East. It also said it would be sponsoring humanitarian causes in the region. However, it said: ‘While we may be seeing a slow lifting of the boycott by retailers, it remains to be seen whether customers will in fact buy our products.’ By August, sales had returned to pre-boycott levels in most Gulf states with the exception of Saudi Arabia (Arla’s largest market in the region). Arla’s chairman, Knud Erik Jensen, said: ‘With regard to the Middle East, the outcome has been slightly worse than expected last spring’.

“What lesson can we get from the case?” by analysing the case.
Please analyse:
-      Why did the event happen? What was the cause triggering the event?
-      Explain the case by making issue lifecycle
-      What did the company do/respond with the event? Based on the outcome, was it proper respond? etc


A. PENDAHULUAN
Awal mula boikot produk yang dialami Arla Food, produsen susu terbesar di negara Skandinavia, akibat terkena imbas terbitnya 12 kartun editorial sosok Nabi Muhammas SAW dalam Surat Kabar Jyllands-Posten Denmark tanggal 30 September 2005 (Regester & Larkin, 2008). Dengan terbitnya kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dianggap telah melecehkan umat Islam di dunia. Seperti diketahui bahwa Muhammad SAW merupakan  nabi umat Islam dan merupakan junjungan bagi umat Muslim. Apalagi peredaran kartun di surat kabar Jyllands-Posten Denmark semakin meluas. Bahkan kartun tersebut dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman, Belgia dan Perancis antara Oktober 2005 hingga Februari 2006.  Selain menggambarkan nabi Muhammad- yang merupakan penghujatan untuk Muslim-kartun itu dianggap oleh banyak orang menjadi Islamfobia dan rasis. Pembelaan yang dilakukan surat kabar tersebut sebagai upaya untuk berkontribusi terhadap perdebatan mengenai kritik Islam dan sensor diri.
Akibatnya terjadi hal-hal krusial dengan adanya protes yang dilakukan umat Islam dimana-mana. Aksi protes antara lain membakar kedutaan Norwegia dan Denmark di Damaskus dan  Beirut, serangan terhadap Kedutaan Besar Denmark di Teheran, dan orang-orang bersenjata menyerbu sebuah gedung Uni Eropa di Kota Gaza menuntut permintaan maaf dari Denmark dan Norwegia.
Demikian juga bagi Arla Foods, koperasi yang berbasis di Arhus, Denmark yang dimiliki oleh 11.000 petani Denmark dan Swedia mempunyai pangsa pasar besar di kawasan Timur tengah dengan penjualan tahunan mencapai US $ 480 juta, terkena imbas. Dampak buruk melanda Arla Food  yang telah membangun bisnis besarnya selama 40 tahun di kawasan Timur Tengah, sebagai pusat Islam peradaban umat Islam.
Sebagai negara yang menjadi tempat diterbitkannya Surat Kabar Jyllands-Posten, Denmark semestinya melakukan perannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah antara surat kabar yang berada di wilayahnya dengan tuntutan umat Islam. Bahkan sampai negara-negara mayoritas Muslim mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk meminta maaf atas apa yang terjadi, melalui permintaan pertemuan dengan Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen yang  tidak pernah terjadi. Justru Pemerintah Denmark menolak meminta maaf dan membiarkan permasalahan tersebut bergulir dengan alasan apa yang dilakukan Pemerintah Denmark tidak dapat mempengaruhi media dan Pemerintah Denmark menganggap apa yang diterbitkan oleh media sebagai perwujudan kebebasan pers.
Seiring waktu, permasalahan semakin membesar dan pelik seperti bola salju yang menggelinding. Hingga pada tanggal 20 Januari 2006, tokoh-tokoh politik dan agama Arab Saudi mengajak umat Islam untuk memboikot seluruh produk dari negara Denmark.
Sebagai salah satu produsen bahan makanan dan minuman yang berasal dari Denmark, Arla melihat pemboikotan produk negara Denmark oleh umat Muslim merupakan permasalahan yang serius. Sebab pemboikotan produk Denmark dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap penjualan produk Arla yang dipastikan terkena boikot. Untuk itu Arla berusaha merespon dan menghindari pusaran kasus dengan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan Arla dengan memasang iklan di surat kabar. Salah satunya iklan satu halaman penuh di Koran Saudi yang menunjukkan sikap resmi Denmark tentang Islam. Namun hal tersebut tidak membantu Arla keluar dari persoalan.
Sampai Konfederasi Industri Denmark mengajukan banding ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf dan terwujud dengan menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. Namun sayangnya Pemerintah Denmark tidak juga meminta maaf atas nama surat kabar Denmark dengan alasan Pemerintah tidak ada campur tangan atas kebijakan penerbitan sebuah media.
Lain halnya yang dilakukan Nestlé, meski awalnya berdampak pada penjualan, Nestlé memasang iklan dan mengatakan bahwa produk yang dijualnya bukan berasal dari Denmark. Sehingga hasilnya penjualan Nestlé kembali normal.
Akibat gerakan boikot tersebut, Arla harus menanggung kerugian besar. Hampir seluruh pelanggan di kawasan di Timur Tengah membatalkan pesanan pada akhir Januari. Hingga Arla tersadar betapa sulitnya meraih kembali kepercayaan pelanggan hingga bisnis besar yang dibangun selama 40 tahun namun hancur hanya dalam waktu lima hari. Di Bulan Februari kerugian perusahaan akibat bokot £ 1 juta per hari.
Sampai pada tanggal 1 Maret, Arla memperkirakan biaya boikot akan berjumlah US $ 64 juta. Tapi Arla bertekad dan berkomitmen untuk bangkit. Dengan kepercayaan diri Arla mulai pemasaran ulang di Timur Tengah dengan iklan-iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Pada awal April, produk Arla mulai dimasukkan kembali di rak-rak toko di Timur Tengah. Arla juga mengatakan akan mensponsori aksi kemanusiaan di wilayah tersebut. Hingga meski penjualan berjalan lambat akibat boikot, namun perlahan pelanggan Arla membeli produk Arla.
Sampai pada Agustus,  penjualan telah kembali seperti sebelum terjadi boikot di sebagian besar negara-negara Teluk dengan pengecualian Arab Saudi sebagai pasar terbesar Arla di wilayah tersebut.

B. PERMASALAHAN
Dari penjelasan diatas, permasalahan yang dapat diidentifikasi antara lain:
1. Mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi dan apa penyebabnya?
2. Bagaimana gambaran siklus hidup kasus tersebut?
3. Apa respon perusahaan terhadap permasalahan dan berdasarkan hasilnya, apakah respon yang dilakukan Arla tepat?

C. ANALISIS PERMASALAHAN
            Kasus boikot produk negara Denmark berdampak pada produk Arla. Sebab Arla merupakan salah satu produsen produk susu terbesar dari Denmark. Boikot tersebut terjadi karena dipicu oleh (triggered by) terbitnya 12 kartun editorial sosok Nabi Muhammas SAW dalam Surat Kabar Jyllands-Posten Denmark tanggal 30 September 2005. Dengan terbitnya kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dianggap telah melecehkan umat Islam di dunia. Sehingga kaum Muslim melakukan protes keras. Seperti diketahui bahwa Muhammad SAW merupakan  nabi umat Islam dan merupakan junjungan bagi umat Muslim. Umat Muslim menilai hal tersebut merupakan perbuatan penistaan agama.
            Namun Jyllands-Posten acuh tak acuh dengan portes publik, bahkan akhirnya mereka terlambat untuk meminta maaf setelah ada desakan dari  berbagai pihak. Demikian juga Pemerintah Denmark pun hanya tinggal diam dan terkesan membiarkan serta tak berupaya memfasilitasi agar surat kabar tersebut meminta maaf. Dengan alasan bukan ranahnya Pemerintah Denmark mengintervensi surat kabar tersebut. Pemerintah berpegang teguh pada konstitusi Denmark yang memberi kebebasan pers. Namun dalam persoalan penistaan agama ini, seharusnya Pemerintah Denmark yang memiliki kewenangan dapat memfasilitasi keinginan publik untuk dapat berdialog dengan Jyllands-Posten. Sehingga permasalahan ini tidak berbuntut panjang yang merugikan publik Denmark, utamanya para pengusaha yang memiliki hubungan bisnis dengan Timur Tengah.
            Akibat adanya kesenjangan antara harapan publik di kawasan Timur Tengah akibat konsekuensi beredarnya isu penistaan agama yang dilakukan surat kabar Denmark, membuat isu berkembang menjadi boikot. Isu muncul ketika terjadi karena perbedaan antara harapan publik dengan kebijakan, operasional, produk atau komitmen organisasi terhadap publiknya. Hal tersebut sesuai dengan The Issue Management Council (dikutip dalam Kriyantono, 2012a. H. 152). Isu boikot produk Denmark ternyata berimbas pada produk Arla (Produk Arla ikut diboikot) sehingga membuat Arla sebagai salah satu produsen dari Denmark tiba-tiba terjerumus dalam krisis.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disebutkan Kriyantono (2014), bahwa krisis merupakan situasi tiba-tiba, tidak terduga (mungkin saya bisa menduga akan terjadi, tetapi tidak tahu kapan terjadinya), menimbulkan kepanikan, berpotensi menimbulkan konflik dan kerusakan sosial, ekonomi, psikologi dan budaya, serta terdapat ketidakpastian informasi. Dampak pemboikotan produk Arla sebenarnya bukan langsung ditujukan oleh publik, namun akibat ketidakpastian informasi dalam menanggapi isu sensitif tersebut.   
            Untuk itu, isu yang berkembang harus dapat dikelola dengan baik agar tidak menjadi krisis. Sehingga perlu diketahui jenis penanganan apa yang harus kerjakan saat itu sesuai dengan tahapan perkembangan isu hingga menjadi krisis. Arla sebelumnya tidak menyangka bahwa apa yang tidak menjadi kesalahannya (perbuatan organisasi lain) telah membuat Arla terpuruk dalam krisis. Krisis tidak di trigger oleh organissasi sendiri, bisa juga oleh organisasi lain. Seharusnya Arla menangkal seluruh potensi krisis baik yang dilakukan pihaknya sendiri maupun organisasi lain. Apalagi benih-benih krisis atau terjadinya isu dapat terjadi kapan saja dan darimana saja.
Kasus penistaan agama oleh Jylland-Posten  yang menerbitkan kartun Nabi Muhammad, sebelumnya tidak ada yang menyangka akan berakibat buruk. Padahal jika seniman pelukis kartun tidak menggambar Nabi Muhammad dan redaktur Jyllands-Posten dapat melihat dalam perspektif umat Muslim dan berpikir toleransi antar agama dan berpikir kartun tersebut jadi masalah jika dipublikasikan, maka masalah isu ini tidak akan menjadi krisis.
Menurut Hainsworsth dan Meng (dikutip di Kriyantono, 2012, h. 159) ada empat tahap perkembangan isu, antara lain:
1. Tahap Origin (Potential Stage)
Pada tahap ini menggambarkan adanya perhatian dari seseorang atau sekelompok terhadap isu tertentu dan memberikan opini maupun tindakan atas isu tersebut.
Isu muncul ketika kelompok Muslim tidak terima ketika kartun Nabi Muhammas SAW diterbitkan oleh salah satu surat kabar Denmark, yaitu Jyllands-Posten. Mereka protes karena kartun tersebut melecehkan Nabi yang menjadi junjungan mereka dan sebagai bentuk penistaan agama Islam.
2. Tahap Mediation dan Amplification
    Isu berkembang ketika adanya kelompok-kelompok yang mendukung dan memberikan perhatian pada isu-isu tersebut.
    Di tahap ini, tidak terjadi Mediation dan Amplification yang diharapkan. Protes yang dilancarkan umat Islam hanya angin lalu. Surat Kabar yang menerbitkan kartun maupun  pemerintah yang berwenang hanya berdiam diri. Karena tidak ada tanggapan terhadap protes, baik dari surat kabar Jyllands-Posten maupun Pemerintah Denmark akhirnya para pemuka agama Islam mengajak masyarakat di kawasan Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam untuk memboikot produk Denmark. Produk Arla terkena dampak boikot karena Arla merupakan salah satu produsen yang berasal dari Denmark. Padahal Arla tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan surat kabar Jyllands-Posten akan berdampak negatif, berupa tahap perkembangan selanjutnya.
 3. Tahap Organization
     Tahap ini menjelaskan bahwa publik sudah mengorganisasi dan membentuk jaringan-jaringan. Dalam tahap ini terbagi menjadi dua bagian, meliputi:
a. Current Stage: isu berkembang menjadi populer karena media massa memberitakan berulang kali dan berbagai interaksi di media sosial dan jaringan.
Isu semakin digoreng dengan peredaran kartun di surat kabar Jyllands-Posten Denmark semakin meluas. Bahkan kartun tersebut dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa seperti di Norwegia, Belanda, Jerman, Belgia dan Perancis antara Oktober 2005 hingga Februari 2006.
b.  Critical Stage: publik mulai terbagi ke dalam dua kelompok yang saling berseberangan, yakni kelompok yang setuju dan kelompok penentang.
Satu kelompok mendukung bahwa benar jika kartun Nabi Muhammad merupakan sebuah penghinaan bagi umat Islam. Arla masuk dalam kelompok ini dengan memasang iklan di surat kabar Arab Saudi sebagai penegasan sikap Arla berpihak dimana. Namun di kelompok lain yakni pemerintah Denmark lepas tangan dan tanpa menyatakan permohonan maafnya kepada publik Islam sebagai pernyataan resmi negara. Akibatnya Arla Foods secara langsung dianggap memiliki pandangan yang sama dengan pemerintahnya, negara Denmark. Sehingga boikot produk Arla tak terelakan lagi.
4. Tahap Resolution
Tahap ini menjabarkan bahwa perusahaan atau organisasi dianggap telah dapat mengatasi isu sehingga pemberitaan dan perhatian masyarakat juga menurun. Sehingga dapat diasumsikan bahwa masalah tersebut telah selesai sampai suatu saat muncul kembali dengan persoalan yang baru namun masih memiliki keterkaitan.
Dengan adanya banding dari Konfederasi Industri Denmark ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf sehingga mereka menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. Namun sayangnya Pemerintah Denmark tidak juga meminta maaf atas nama surat kabar Denmark dengan alasan Pemerintah tidak ada campur tangan atas kebijakan penerbitan sebuah media. Meski demikian sulit bagi Arla Foods mengapa mereka terjebak dalam posisi terjepit padahal mereka tak ada sangkut pautnya. Upaya Arla selanjutnya dengan mencoba bangkit meraih pangsa pasar kembali segera dilakukan. Arla melakukan berbagai strategi seperti mensponsori kegiatan kemanusiaan di wilayah berkembangnya isu dan krisis dengan sebelumnya memasang ikla satu halaman di 25 harian Arab Saudi. Produk Arla pun kembali memenuhi keranjang belanjaan masyarakat Timur Tengah. 

Issue Lifecycle
Dari paparan kasus diatas, Regester & Larkin (2008) menggambarkan tahapan perkembangan  kasus tersebut melalui sebuah siklus hidup kasus (Issue Lifecycle), yang dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini:
Gambar 1. Issue Lifecycle
Regester & Larkin (2008)




Dapat dijelaskan dari gambar Issue Lifecycle kasus Arla Foods menurut Regester dan Larkin (2008) bahwa isu digambarkan mengalami perkembangan dan juga mengalami intensitas. Isu berkembang ketika Surat Kabar Jyllans-Posten Denmark mempublikasikan kartun editorial yang menggambarkan Nabi Muhammad pada tanggal 30 September 2005. Kemudian isu berkembang lagi karena pada bulan Oktober dan seterusnya kartun itu dicetak ulang di beberapa surat kabar utama di Benua Eropa. Hingga intensitas isu meningkat pada tanggal 12 Oktober 2006 karena sebanyak 11 duta besar dari negara-negara mayoritas msulim  ditolak untuk bertemu dengan Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen. Hingga isu berkembang di tanggal 20 Januari 2006: Tokoh agama dan politik Arab Saudi menyerukan boikot produk Denmark.
Pada tanggal 27 Januari ada tiga intensitas isu yang muncul mewarnai kasus ini. Yakni pertama, Arla menempatkan iklan satu halaman penuh di Surat Kabar Saudi mempromosikan sikap resmi Denmark pada Islam. Kedua, Konfederasi Industri Denmark mengajukan banding ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf karena menerbitkan kartun dan ketiga Nestlé dalam iklan di sebuah surat kabar Saudi mengatakan kepada konsumen bahwa dua produk yang dijual di kawasan Timur Tengah bukan berasal dari Denmark.
Selanjutnya isu berkembang pada tanggal 28 Januari, Arla memasang iklan di beberapa surat kabar Timur Tengah memisahkan diri agar tidak dikaitkan dengan kartun. Perkembangan pada tanggal 30 Januari Arla mengatakan boikot menyebabkan kerugian besar, hampir seluruh pelanggan di kawasan di Timur Tengah membatalkan pesanan. Pada tanggal 31 Januari, dengan posisi hampir dipuncak perkembangan, Jyllands-Posten mencetak permintaan maaf dengan menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya. Pada tanggal 1 Maret pada posisi intensitas datar, dengan kepercayaan diri Arla mulai pemasaran ulang di Timur Tengah dengan memasang iklan-iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab. Dan posisi isu telah menurun di awal April, produk Arla mulai dimasukkan kembali di rak-rak toko di Timur Tengah. Arla juga mengatakan akan mensponsori aksi kemanusiaan di wilayah tersebut. Hingga meski penjualan berjalan lambat akibat boikot, namun perlahan pelanggan Arla membeli produk Arla. Sehingga Arla telah hampir keluar dari krisis di bulan Agustus,  penjualan telah kembali seperti sebelum terjadi boikot di sebagian besar negara-negara Teluk dengan pengecualian Arab Saudi sebagai pasar terbesar Arla di wilayah tersebut.
 
Respon Arla Foods
Respon Arla atas Aksi Boikot Timur Tengah terhadap produknya dapat dilihat dari gambar issue lifecycle diatas:
1. Arla menempatkan iklan satu halaman penuh di Surat Kabar Saudi berisi sikap Arla bahwa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan surat kabar Jylllands-Posten dinilai telah menyinggung umat Islam dan mempromosikan sikap resmi Denmark pada Islam.
2.  Arla memasang iklan di beberapa surat kabar Timur Tengah memisahkan diri agar tidak dikaitkan dengan kartun.       .
3.  Melakukan penghitungan jumlah kerugian dan kerugian yang akan ditanggung bila krisis terus berlanjut.
4.  Melakukan pemasaran ulang di Timur Tengah dengan memasang iklan satu halaman penuh di 25 koran Arab Saudi.
3. Menjadi sponsor kegiatan kemanusiaan di Timur Tengah
4. Melakukan evaluasi respon pelanggan terhadap produk Arla yang dijual kembali di kawasan Timur Tengah.       
Beberapa respon yang dilakukan oleh Arla Foods sebagai upaya mengatasi aksi boikot di Timur Tengah terhadap produk Denmark, yang berimbas pada boikot produk Arla, sehingga membuat Arla mengalami krisis. Padahal pangsa pasar Arla Foods sebagai produsen  susu merupakan yang terbesar di kawasan Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Sehingga manajemen Arla berupaya dengan berbagai strategi agar pangsar pasar di wilayah Timur Tengah tetap terjaga sehingga dampak yang lebih buruk jangan sampai terjadi.
Respon yang pertama dilakukan oleh Arla yakni memasang iklan di surat kabar Arab Saudi yang berisi sikap Arla bahwa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan surat kabar Jylllands-Posten dinilai telah menyinggung umat Islam. Selain itu, Arla memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah yang pro Islam. Namun langkah ini hanya sia-sia, tak ada efek yang positif yang ditimbulkan.
Respon selanjutnya, Arla memasang iklan kembali sebagai upaya Arla untuk memisahkan diri dari situasi yang tengah terjadi. Hal tersebut sesuai apa yang dikatakan oleh Hearit, K. M. (1995; 2005 yang dikutip Kriyantono, 2014. h. 180) sebagai pemisahan atau ketidakterhubungan sebagai salah satu atau substrategi dari bentuk strategi mendefinisikan kembali (re-definition) bahwa tuduhan yang dialamatkan ke Arla tidak akurat dan tidak merefleksikan fakta sebenarnya yang terjadi.
Arla khawatir kasus penistaan agama oleh Jyllands-Posten dengan menerbitkan kartun Nabi Muhammad SAW akan meluas dan berdampak pada penjualan produknya di kawasan Timur Tengah. Chalil (2001:6) mengatakan “Nabi Muhammad diturunkan di dunia menjadi nabi dan rasul Allah”. Sehingga menurut pandangan kaum Muslim, sosok Nabi Muhammad merupakan junjungan dan penerbitan kartun Nabi Muhammad merupakan penghinaan dan merupakan penistaan agama Islam. Untuk itu Arla berupaya menunjukkan bukti bahwa posisi Arla tidak terkait dengan penistaan agama yang dilakukan oleh surat kabar Jyllands-Posten. Hal tersebut agar konsumen Arla di kawasan Timur Tengah tetap setia dengan produk Arla.
Namun boikot yang dirasakan oleh Arla kian semakin memperparah keadaan. Arla gagal dalam melaksanakan perannya yang penting terkait fungsi dan peran manajemen Public Relations (PR). Menurut Toth (2002 yang dikutip Kriyantono, 2014. h. 83) PR adalah proses mengelola strategi komunikasi untuk membangun relasi yang baik antara organisasi dan publiknya. PR adalah “management by communications” Culbertson, dkk. (1993:12 yang dikutip Kriyantono, 2014). Artinya,  komunikasi sebagai alat utama PR memainkan peran sentral dalam proses saling berhubungan antara organisasi, PR, dan publiknya. Sedangkan menurut Lattimore, dkk. (2007); White & Dozier (2008 yang dikutip Kriyantono, 2014), menyebut ada dua peran yang diharapkan dilakukan secara terus menerus oleh PR. Pertama, peran teknis, yaitu hal-hal yang menyangkut pekerjaan teknis seperti menulis, press-release, membuat newsletter, fotografi, membuat produksi audiovisual dan menggelar event. Kedua, peran manajerial, yaitu berkaitan dengan aktivitas yang membantu manajemen dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Dalam melaksanakan peran manajerial, PR bertindak sebagai:
-    Seorang ahli yang mampu mendefinisikan masalah, mengusulkan berbagai alternatif pemecahan masalah, dan melaksanakan upaya pemecahan masalahnya (expert presciber).
-    Seorang yang menjadi mediator dan fasilitator yang menyediakan saluran komunikasi dua arah timbal balik antara organisasi dan publiknya (communicaton facilitator)
-    Sebagai problem-solving facilitator yang mampu bertindak sebagai partner, mitra, atau teman bagi manajer senior dalam upaya mengatasi berbagai persoalan yang menimpa organisasi.
Melihat fungsi PR tersebut, PR Arla belum mampu mengelola strategi komunikasi dalam membangun relasi yang baik antara organisasi dan publiknya. Sementara proses berhubungan dengan organisasi, PR, dan publiknya juga gagal dilakukan. Boikot yang terjadi akibat Arla tidak menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan surat kabar Jyllands-Posten dan Pemerintah Denmark untuk mengkondisikan permasalahan yang terjadi. Meski sudah ada upaya untuk menjalin hubungan tersebut oleh PR Arla Hal yang seharusnya memang harus dilakukan PR Arla dalam peran manajerial PR sebagai mediator dan fasilitator.   
Arla juga mengalami kegagalan peran sebagai manajemen PR, sebab dalam melaksanakan identifikasi permasalahan sehingga berujung pada krisis dan boikot produk. Seharusnya PR Arla mampu memahami secara keseluruhan karakter publik yang menjadi konsumen atau target pasarnya. Sehingga ketika ada percikan yang mengarah ke krisis dapat ditangani segera dengan baik.
Meski demikian, apa yang dilakukan Arla dimenit-menit terakhir setelah adanya permintaan maaf dari Surat Kabar Jyllands-Posten dengan keyakinan dan optimis membuka pasar kembali pada bulan April, dapat menyelamatkan Arla dari ambang  kehancuran. Meskipun pertumbuhannya melambat dan baru normal di bulan Agustus, kecuali wilayah Arab Saudi, Arla dapat berupaya mengembalikan kepercayaan konsumennya dan terus melakukan evaluasi. Pembukaan pasar kembali juga dibarengi dengan penerbitan ikal satu halaman penuh di 25 koran Arab Saudi. Bahkan Arla mendukung kegiatan kemanusiaan agar mendapatkan legitimasi dari publik dan dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan.

D. KESIMPULAN


Dari paparan kasus diatas, memang merupakan pelajaran berharga yang telah dialami oleh Arla Foods. Kasus ini juga bisa menjadi pelajaran berharga organisasi maupun perusahaan dalam memandang isu dan krisis. Tak terbayangkan sebelumnya kesalahan yang dilakukan oleh organisasi lain bisa berdampak besar terhadap Arla Foods. Yakni bermula Jyllands-Posten menerbitkan kartun penistaan agama terhadap Nabi Muhammad SAW yang dikecam kaum Muslim, khususnya di kawasan Timur Tengah. Sampai berakibat boikot terhadap produk dari negara Denmark oleh warga Timur Tengah khususnya umat Muslim. Apalagi kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang warganya dominan memeluk agama Islam. Sehingga apapun yang terjadi atau dilakukan oleh organisasi lain, harus tetap diantisipasi, diwaspadai dan ditanggapi secara maksimal.
Perkembangan isu menjadi krisis memang tidak terlihat dan tidak disangka-sangka. Ada beberapa tahap perkembangan isu dalam kasus boikot produk dari negara Denmark dan khususnya produk Arla Foods. Tahap-tahap tersebut antara lain 1). Tahap Origin (Potential Stage), dimana isu awal Isu muncul ketika kelompok Muslim tidak terima ketika kartun Nabi Muhammas SAW diterbitkan oleh salah satu surat kabar Denmark, yaitu Jyllands-Posten. Mereka protes karena kartun tersebut melecehkan Nabi yang menjadi junjungan mereka dan sebagai bentuk penistaan agama Islam. 2). Tahap Mediation dan Amplification, tahap ini, tidak terjadi Mediation dan Amplification yang diharapkan.  3). Tahap Organization,      Dalam tahap ini terbagi menjadi dua bagian, meliputi: a. Current Stage: isu berkembang menjadi populer karena media massa memberitakan berulang kali dan berbagai interaksi di media sosial dan jaringan. b.  Critical Stage: satu kelompok mendukung bahwa benar jika kartun Nabi Muhammad merupakan sebuah penghinaan bagi umat Islam. Dan 4). Tahap Resolution. Dengan adanya banding dari Konfederasi Industri Denmark ke Jyllands-Posten untuk mencetak permintaan maaf sehingga mereka menerbitkan dua surat terbuka di situs webnya, satu permintaan maaf dari koran dan satunya dari seniman pembuat kartun. (*)



DAFTAR PUSTAKA


Chalil, M. (2001). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Vol. I). Jakarta: Gema Insani.

Kriyantono, R,. (2012). Public Relations & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations Etnografi Ktitis & Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Kriyantono, R,. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk issues and crisis management in public relations: A casebook of best practice, 4th ed. London: Kogan Page.